Kamis, 10 Desember 2009

B A T A S

Engkau awan aku lautan
angin menerbangkan angan
berarak
angin menggelombangkan buih
ke puncak
gemuruh suaraku terus memanggil
mengkais-kais pasir tepian
gemeletar tanganku menggapai
lantas luruh tak sampai
gigil kerinduan diam
di kedalaman.

september awal, 1987

P E T A K

Sungguh, keberaturan yang aku jalani
bukanlah keberaturan menurut tatanan
aku melangkah dari satu petak ke petak lain
yang di tiap persinggahan menemu kebebasan
Sungguh, aku ingin memeluknya
sepenuh pelukan aku rapatkan bagai orang lain
rapat memeluk tatanan, yha
ternyata keberaturanku ada dalam kebebasan itu sendiri
dan tujuan yang aku canangkan semenjak dini
aku biarkan bebas mengelana hingga menemu
sumberNya.

september 241987

K A M A R

Ruangan ini,
dimana dinding-dindingnya berdiri kaku
aku menyulam di dalamnya
lewat rusuk Adam aku menjalin cerita
tentang kegagalan langkah dan duri
yang terserak di jalanan.

Rusuk kananku adalah teman melepas kaki
dari tiap sandungan, langkahpun menjadi ringan
dan ketika rusukku patah, aku terus menyulam
sendirian
mengunci mulut dan relung kamar
dinding membentuk lukisan.

Ruangan ini,
segalanya terasa sempit dan pengap
pikiran tentang langkah dan arah ku letakkan
dan gerak yang terbentuk karena kehendak
ku jalani dengan jiwa pasrah.

september 25, 1987

KALAULAH

I.
Kakiku guyah hilang keseimbangan
dalam relung sepi yang sunya
padang tiada tepi
tiada cakrawala langit bumi
dan matahari
terang tiada gelappun tidak
entah apa.

II.
Kalaulah sinar
bukanlah cahaya yang keluar dari sumbernya
kalaulah terang
semuanya tampak serba maya
kalaulah ku kenal diri
masih ada yang menyelinap lepas
membidik matahari.

III.
Kalaulah tlah ku temu
semuanya tak ada dalam genggaman
kalaulah belum
aku sudah
kalaulah sudah
akupun masih entah
yha Allah
kiri kanan atas bawah bukanlah arah
dan yang terlepas bukanlah anak panah
yang melaju menuju sasaran
tapi sasaranlah yang membidik kita
hingga segalanya jadi tiada
nampak jelas di relung-relung samudra.


oktober 18, 1987

ASMARA SHITA

Ketika Rahwana bangkit dari dalam dada
ku rasakan kehidupan mengaliri darah
lantas ku rentangkan tangan menebar aroma
keyakinanku pada Shita yang terpana
kijang kencana memasang jeratnya
O, wanita mana yang tak tertarik pada kilaunya
sejangkauan hasrat bakal teraih jinaknya
" Wahai Rama kekasih, berikan padaku
   kijang kencana bukti cintamu padaku".
Sebagai lelaki Rama tertantang keangkuhannya
melesatlah ia dengan meninggalkan waspada
O, wanita senantiasa penuh prahara terbangkit dari mimpinya
desir cemara menggoyahkan langkah Rama lantas di angkatnya
Lesmana dari dalam rimba memahatkan syair bagi Kakanda
mengantarkan kepergiannya memburu kijang kencana
sumber prahara.

Kijang kencana dengan kegesitannya, mengaburkan langkah Rama
hingga ia kian jauh mengikut angin kembara
Shita Sang Putri penuh hasrat membara terbangkit kecemasannya
saat mentari kian memanjat pucuk-pucuk cemara
diutusnya Lesmana mencari jejak Sang Rama yang kian kabur
dalam kegelapan rimba
kebimbangan meraja di hati Lesmana, lantas perang
kepatuhannya pada Shita Sang Putri mengajaknya pergi mencari
ketaatannya pada Rama Kakanda menyuruhnya untuk menanti
di puncak pertempuran iapun diam
sambil meggores-goreskan jarinya ke bumi, terbakarlah
keangkuhan Shita
sebuah Gita menggeletar di cakrawala
" Wahai Lesmana adikku,
   barangkali ada suara di balik getar kata-katamu
   dengan kepergian Rama Kakanda mengejar buruannya, Engkau
   melantunkan tembang di taman dewasamu dengan tatapan
   melekat di kainku
   adakah sesuatu yang memberatkanmu hingga kau
   tak beranjak dari tempatmu ?
   Sementara Rama Kakanda memeras rimba memburu kijang kencana
   Engkau mengipas-kipaskan angin pagi menyulam mimpi
   bagi hari-hari bakal lewat bersamaku
   itukah persembahan baktimu, hai Lesmana ?"

Awan merah mengeliat di angkasa, tengadah
diteriakkannya bait-bait mantra pengukuhan baktinya
"  Lihatlah Shita Ayunda,
   Ku angkat syair perjalananku selanjutnya
   Lesmana bakal melangkah sendirian
   mengarungi samudra kehidupan
   Lesmana akan sendirian dan akan terus sendirian
   tanpa rusuk kanan dalam genggaman
   demi baktiku pada Rama Kakanda dan Shita Ayunda
   yang telah dibutakan kesadarannya
   dengar hai langit, dengar
   barangkali nyanyian ini mampu membangkitkan kenyenyakan
   Shita Ayunda dari keangkuhannya
   bangkitlah wahai,
   Lesmana masih awas pandang matanya dalam rimba
   gelap dan menyesatkan
   aku masih mampu tegak dari hempasan nyanyi surga,
   jangan cemaskan kepatuhanku pada Rama Kakanda
   Aku turutkan perintahmu Ayunda Shita
   sebagai bukti kekosongan jiwaku dari mimpi surga bersamamu".

Lantas dicabutnya pedang menggurat rajah
Kalacakra tergambar di punggung tangannya
Lesmana Adinda terluka
       darah mengucur dari lambungnya
dibentangkannya kaki menebas belantara mencari Kakanda
dari mulutnya keluar mantra-mantra mengaliri malam jelaga.

Dalam rimba Shita Sang Putri merajut kecemasannya
tetes-tetes darah yang tercecer dari lambung Lesmana
menjelma sendang yang beriak di dalamnya
kebeningan airnya memantulkan kemasgulan wajah Shita
"  Aku tlah keliru mengurai makna" gumamnya
"  Kekagumanku pada anugrah Dewata memburamkan kilau belatiku
   hingga ketajamannya mengoyak lambung Lesman, O Dewata
   anugrahmu tlah membuahkan luka".
tetes-tetes air keluar dari pandangnya membentuk genangan mutiara
seorang Brahmana, muncul dengan kembang setangkai di tangan
" Wahai Shita Sang Putri, hapus air mata dan lihatlah
  keceriaan di tanganku adalah bunga-bunga
  setangkai di putik tergambar kereta kencana
  yang bakal mengantarkanmu menuju kerajaan Dewa".

Shita yang wanita, tergoda wangi cempaka
keharuman menggelitik tangannya meraih bunga
kilat menyambar Shita, terlemparlah ia dari lingkaran Cakra
jeritnya tertinggal di awang-awang
menjelma nyanyian malam.

Asmara Shita menggelepar di cakrawala
suara angin yang melenakan tlah mengkoyak bahtera mimpinya
hingga yang terjelma kemudian adalah tangis berkepanjangan
membumbung bersama api yang membara dari dalam dada.

januari - agustus, 1988

PRINT AD

Add caption ...