Senin, 19 Oktober 2009

H U J A N

Angin sejuk menerpa wajah, aku biarkan semuanya basah
hati dan kenanganku. gemuruh hujan di luar menghantam
dadaku, sesosok bayang melintas bias
pelangi mempermainkan mataku yang
kian waktu kian kabur mendekati kubur
begitu samarnya hingga nampak jelas diantara cadar
menepis-nepiskan masa lalu yang tiba-tiba kembali membayang
surga yang hilang ?,
bukan, bukan, surga yang bakal datang melabuhkan perahu
yang sarat hasrat hingga kompas kehilangan kiblat.
bumi terus berputar dalam diam ,merambati waktu
terasa sia-sia hidup tanpa berbuat sesuatu.

desember 6, 1985

Kamis, 15 Oktober 2009

KIDUNG WAYAH WENGI antologi puisi II


NYANYIAN OMBAK

Masih ku dengar desahnya yang membara
laut kidul menggelora buih
memerak di bibir-bibir pantai menyuruki sepi
yang hampir mengatupkan matanya
O, cinta
dahaga tinggal selembar benang yang merajut kenang
pada masa-masa yang telah silam ditelan waktu
debur ombak laut kidul mendendang rindu.

1984
KETIKA KU MASUKI BERANDA RUMAHMU
( ngadisuryan IV/135 )

Maka ku labuhkan kapal kenanganku
setelah sekian lama hidup mendamba
biduk menghilirkan kata
menghilirkan nafasku memasuki rusukmu.

Lantas ku wartakan kepadamu sebuah cerita
tentang laut yang tertidur di kakimu
nafasnya gelisah, gagal istirah
kemesraan yang luput dari jamah.

( lagumu yang purba mengarungi samudra
    hingga tanganku tak kuasa meraihmu
    melabuhkan kata dalam satu dermaga )

Maka ketika pagi mengurai sinarnya
ku layarkan perahu isyarat ke jantungmu
lewat angin yang bertiup disela rambutmu
kutuliskan rindu. Dengarkanlah.

1984
TLAH TERGETAR TIRAI

Ku tangkap surga di matamu
pada bulan ke tujuh langkah
terhenti membelai
     dingin angin gunung
         panas angin gurun
               keheningan malam
kelaparan dalam penantian bergumul
dalam kabut.

Datanglah wahai,
yang pernah hinggap lalu lenyap
dalam gelisahku
( embun menetes menyentuh tirai
                 gemetar
        Ruh lama tersimpan )
bayang-bayang menggigil di altar
kudus kata
jawaban resia lamat-lamat terdengar
di kakikaki telanjang.

Ku tangkap surga di matamu
pada bulan ke tujuh langkah
terhenti membelai.

1985
DI SUDUT MATAMU ADA EMBUN

Di sudut matamu ada embun menusuk kata
berkabar tentang rindu yang tertahan
oleh gelisah waktu
di ujung rambutmu.

Ternyata aku tak cukup sabar menahan sepi
merentang busur di pintu bidik jantungmu
gemetar menyembunyikan detaknya.

Pada akhirnya kutuliskan angin di daunan
kerna kata tanggal dari tangkainya gelap
rimba tak mampu mengurai makna
( engkau senantiasa terjaga dari nafsu
  dan prasangka ).

1985
KIDUNG SAJRONING WENGI

I

Wahai kekasih, tanggalkan jejakmu
dalam kesuraman senja kuletakkan lilin
di atas meja antik. Cantik
serangkaian melati disisi bayang-bayang
tirai tersingkap, di luar
gelap.
: Tak ada tanda-tanda kau akan hadir
  menjamu luka

Wahai kekasih, tengoklah kedalam
sepi
menyambut malam.
: gerimis mulai turun di pekarangan.


II
Kemarin teras dan beranda sepi
kau tawarkan mimpi lewat jendela
terbuka
    (  suara-suara di kegelapan
       cakrawala kehidupan di kegelapan
       angin dingin di kegelapan
       lewat menyapa )
Duka, masa remaja
tawarkan padaku cerita
buah pohon di pekarangan
    : Ku petik satu buah pohonmu ku tawarkan
      buah pohonku kepadamu lalu
      dengan sembunyi-sembunyi kita
      mencicipinya.
    ( suara-suara ombak di kejauhan
      suara angin mampir di wuwungan
      suara malam membawa keheningan
      membisik
                  membelai
                                lalu meredakannya )
Kesegaranpun menyemaraki pertemuan, kita
ingin mengulangnya.

1984
PRAMBANAN
( dalam kusam peradaban )

Pada batu
tuding angkasa
matahari merah di barat cakrawala
dekat penghabisan
menancapkan makna
pada dinding
pada stupa
keseharian adalah upacara-upacara.

Tlah dekat keabadian
pohon hayat
dunia bawah
atas
tersatukan.

Paramatma
tinggalkan usia.

1984
BOROBUDUR
( purna pugar sebuah peninggalan )

Barangkali engkau hanya membuat isyarat
lantas kau tanam melati di perbukitan
kelopaknya anggun, bertahta lentera
( menciptakan nirwana di putiknya
  menyedu madu di pusat kalbu )
lantas hiduppun menjelma cerita, dinding stupa
         - Sang Budha berpradaksina  -
( Lumbini taman kembang, mengenal arti
  keramatMu tak pernah asat ).

Barangkali engkau mulai mengurai isyarat
lantas kau masuki trisula delapan kiblat
( nyala dimar di kegelapan adalah nyalaMu
  nyala yang senantiasa tumbuh dalam pasrah )
O, jagad
ternyata hidup sekedar kembali ke hakikat
mengembalikan dunia ke alam Rahsa. Dana warih
                Sang Budha berpradaksina   
           - jubahnya bunga tujuh samudra -
tumbuh teratai di lautmu, tumbuh urna di keningmu
telingamu, O
betapa dalam arti kurban
( di matamu mengerdip bintang, di mulutmu bau kembang )
: di puncak doa purba memasuki sumber suara.

1984
MASUKLAH, DINGIN DI LUAR

Lihatlah,
nadiku mengerdip perlahan menyapamu
sejuta malam sejuta siang, engkau
senantiasa muncul melintas waktu
kesunyianku.

Sapalah,
pada injakan pertama bumiku bergetar
seperti melawat seorang sahabat yang hilang
dalam perjalanan panjang menuju
peristirahatan.

Masuklah,
tlah kubuka pintu sebelum kau sempat mengetuk
kepastian.

Minumlah,
ini darah perjanjian yang lama
hasil tanaman kita
segar
tersentuh sapa.

Makanlah,
ini roti sisa perjamuan kemarin
kamar pengakuan kudus
oleh kata.

Masuklah,
dingin di luara
: Pagi mengusap wajahnya.

1985
BARANGKALI KITA TERLAMPAU PAGI
MENABIKKAN SALAM


Oleh keterasingan kita dipisahkan, dua bukit
mengisyaratkan suara asing lewat angin kegelapan
hati kita membara oleh gelora
ataukah badai yang membisik ketika senja
melarutkan nafasnya.
Ach,
betapa samar makna yang tersalib di jemari
tirai angan berkabut awan.

Ataukah kita terlampau pagi menabikkan salam
hingga yang terdengar oleh kita adalah sangkakala
mengisyaratkan peperangan dalam perjalanan
atau barangkali kita keliru mengurai makna
hingga yang terjelma di hati kita adalah prasangka
mewarnai tiap perjumpaan
( kita menyangka gerimis yang bakal membasahi hari
  ketika pagi meneteskan embun di dedaunan )

Atau sebaiknya kita tak saling berkirim isyarat
sebelum kata berubah jadi sabda menjerat kita
dalam sangsi tak tersapa
atau sebaiknya kita saling menolak keyakinan yang berucap
lantas kita saling menjaga kegelisahan
membebaskan warna dari fungsi dan makna.

Barangkali kita terlampau pagi menabikkan salam
hingga hari kita terlampau cepat menjadi malam.




1984

DENGAN MATA REDUP KITA MENGUCAP
SELAMAT TINGGAL


Dengan mata redup kita mengucap selamat tinggal
embun mulai turun,  basah - tertahan di daunan
amboi - betapa cantiknya bunga mengurai kelopaknya
mengurai kediamanmu yang selama ini terjaga
dasar samudra menyimpan resia.

Ach, seandainya ku tahu dari mula
ku hembuskan nafasku menggemerlap mimpi
memetik sekuntum bintang dari nyanyi matahari
membidikkan jantung ke pusat hati
pusat segala hidup dan mati. Betapa sepi.

Ketika mata hampir terpejam, ku genggam tanganmu
dalam kebersamaan mengarungi malam gelombang tubuhmu
mengoyak sepi mengoyak kegelapan mimpi
( dan purnama tampil di wajahmu ketika tanganku
  menusuk pusat rahimmu )

Ach, seandainya ku tahu dari dulu
betapa ramah tubuhmu mengendapkan kantuk dahagaku
menghembuskan kemesraan di kuduk malam
( saat itu terasa betapa nikmatnya pamitan
  dengan membawa sisa kegelisahan ).


1985
KERETA SENJA, SAAT GERIMIS
MEMBASAHI RAMBUTMU


Entah yang keberapa perasaan seperti ini terulang
kereta yang bakal mengantarkanmu pulang ke bumi
tanah dimana engkau tumbuh dan dibesarkan.

Ku pandangi rel-rel yang berjajar berdampingan
mengulang ceritaku yang panjang. Cerita kita
dimana kita pernah saling mendamba membagi duka
membagi kemesraan sepanjang perjalanan
tapi kita senantiasa tak pernah tersatukan
walau tak terpisahkan.

Keretamu berangkat dik Ika, menyeret keharuanku
peluitnya yang panjang menyayat sepi. Duh.


1983

JALAN SALIB

PERSIAPAN
( getsemani )

Ternyata engkau masih juga sangsi dengan kesetiaanku
tentang derita yang bakal menimpa kita, atau
mungkin engkau sekedar meyakinkan dirimu agar darah
di lambungmu sampai juga ke tubuhku kurus berkeringat
salib di pundak.
Kini kita saling berhadapan, saling bertatapan
dengan paku menancap di tangan.


PERHENTIAN PERTAMA
( pilatus )

Engkau memanggul beban dombadomba, bebanku juga
bukan kerna gelisahku engkau menanggungkan sengsara
bukan kerna kedurhakaanku yang memenjarakan cinta
aku hanyalah sarana
yang bakal menggenapkan janji tentang Sabda
tentang Taurat dan mulut Nabi
aku hanyalah utusan
yang bakal membuktikan keberadaan manusia senyawa
Allah Putra
jangan sesali waktu yang bakal merenggutmu, keluhmu
noda bagi pengabdianmu.
Menggenapkan janji, biarkan semuanya terjadi.


PERHENTIAN KE DUA
( salib membentang di golgota )

Betapa berat menjadi pelayan bagi diri dan orang lain
bagai kau layani aku dengan tangan bentang lautan
lantaran kasihmu membuahkan gelisah, engkau
ku tanam di bukit sepi agar kematianmu
membuahkan kasih di hatiku.


PERHENTIAN KE TIGA
( salib tanggal di kaki )

Ada palagan di hatiku, koyak-moyak
salibsalib tanggal di kaki
kurus tiada berakar
kemanusiaanmu
menumbuhkan luka di lambungmu.


PERHENTIAN KE EMPAT
( bunda penawar luka )

Bagaimanapun juga kehadiranmu penawar luka
rasa trenyuh menghilirkan dahaga, Airmata
tersaput wajah Bunda
Bagaimanapun juga aku buah kasihnya
yang dikandung dalam cinta dan derita
dipisahkan  dalam cinta dan derita
ketika kau jumpai aku dalam derita di atas salib
engkau gagal menyembunyikan cerita
di atas tubuhmu kau tegakkan salib menyangga
tubuhku luka
: Bagaimanapun juga kita buah dan tanaman.


PERHENTIAN KE LIMA
( simon dan sirena )

Ku jabat tanganmu berdarah di penyaliban
di lambungmu luka tak ku temukan denyut Tuhan
kerna tangan kita samasama terpaku jadilah kita
kutu bagi gelisah orang-orang.


PERHENTIAN KE ENAM
( veronika )

Kerna cinta adalah kasih belas tak butuh balas
maka ku cium darah di lukamu
    ku cabut duri di kepalamu menetes
    darah di lambung mulutku
: Pucat oleh nafsu.


PERHENTIAN KE TUJUH
( engkau jatuh kali yang kedua )

Sebagai dua orang sahabat kita saling menjaga
berjalan bergandengan sambil berbincang gurau
tawa membuat kita lupa lantas luka
: Engkau jatuh untuk kali yang kedua


PERHENTIAN KE DELAPAN
( tangis perempuan di pinggir jalan )

Jangan lanjutkan tangan kau ulurkan kerna tangis hanyalah
persinggahan sejenak bagi duka
kemanjaan mengalir tak kuasa membendung luka, biarkan
tangis mengalir memenuhi jalanan
menghilirkan penyesalan ke pelabuhan.


PERHENTIAN KE SEMBILAN
( jatuh kali yang ke tiga )

Ketidakpuasan mengantarkanku pergi ngembara
memasuki jalan-jalan asing dalam darah
ku mengurai makna
sumber suara.


PERHENTIAN KE SEPULUH
( berdiri telanjang )

Ku cinta orang lain bagai cintaku padamu juga diriku
ku hormati orang lain bagai hormatku padamu padaku juga
ku serahkan tubuhku luka dan berdarah kepadamu.
Terimalah.


PERHENTIAN KE SEBELAS
( salib )

Ku wakili tangan orang lain lewat tanganku memakumu
kerna kepergianmu menumbuhkan kesadaran baru bagiku
betapa aku membutuhkan dirimu untuk menuntunku.


PERHENTIAN KE DUA BELAS
( kematian di kayu salib )

Ketika ku masukkan tombak ke lambungmu putih
orang-arang berebut menadahkan tangan di salibmu
mengapa menangis (?) melarutkan kesedihan
kepergianmu memenuhi panggilan Bapa di surga
kematianmu adalah kebangkitan hati kami
kebangkitan tangan yang membutuhkan uluran.


PERHENTIAN KE TIGA BELAS
( kesaksian )

Engkau kembali menjelma dalam sabda
terdengar di tiap hati manusia.



PERHENTIAN KE EMPAT BELAS

Dalam tidur yang jaga bisikmu senantiasa
    " Di hatimu aku menjelma "


PENUTUP
( hikmah )

Engkau menempuh jalan sengsara mewujudkan cinta
kasih senantiasa diikuti pengorbanan tubuhmu
terpaku di penyaliban
Engkau mengalahkan tubuhmu untuk menangkan sabdaNya
kematianmu awal kehidupan kesadaran kami
pengorbananmu menumbuhkan keberanian bagi kami.

1986

SAAT (gerimis)

Telanjanglah sepi saat gerimis
tertidur dalam kamar
melelapkan kesadaran yang lama kubangun dalam mimpi
mimpi malamMu.

Menetes Ruh
menggetarkan rahim sanubari yang sarat
membebaskan beban dari jarak. Pintu
asal Adam menggauli rusuknya.

Rasa tak tersapa
menderaikan air mata yang tak jua lunas
oleh ungkapan kata
yang ku temu pada lonceng gereja ketika senja
memukul keheningan.

Gerimis turun
membasahi sanubari kehidupan yang selalu salah
menerka arah langkah.

november 1982
TIDUR

" dalam tidur, ku dengar
  kucing menggeram
  mengendapkan birahi yang
  muncul dalam keheningan
  sepi
  ."

1986
PERSETUBUHAN

Sementara aku pergi menyusur sepi
kubiarkan pelataran ditumbuhi melati
bagi jalan Sang Kodrat, hidup adalah persetubuhan
menyatukan Dzat Kawulo dan Dzat Gusti
yang senantiasa ingin bermesraan.

Ku masuki lembab rahimMu
gelap dan gaib
mengayun sukmaku diatas megemega
diatas piano tubuhMu, nyanyi gereja
meremang kudukku mendaki puncakNya.

Bintikbintik keringat butirbutir nikmat
mengalir dari seluruh rahmat
dalam rahim purbaMu
tak tersapa.

1986
VENI DOMINE JESU

Wahai merpati kecil yang melintas kepalaku
saat Yohanes mempermandikan kepakMU
lirih berbisik di telinga
" Inilah Putraku, yanh lahir dari rahim Roh Kudus
  darahnya lautan lidahnya anggur setaman
  terimalah ia sebagai cahya yang bakal menerangi
  hati manusia"


Yha, yha, bagikan pada kami terang hingga tumbuh cinta
kasih yang memancar lewat tanganku kecil, lantas
ku sembuhkan orang sakit kubuka mata buta kubagi
roti bagi yang lapar kudamaikan perang dan
kubangkitkan yang mati lantas kutunjukkan jalan
menghadapMu
sebagai gembala kuselamatkan dombadomba dari duri
serigala
dari jerit dan keluhsesal.

Wahai,
datanglah terang bagi hati hingga tumbuh waktu
tumbuh kesadaranku.


1986
SAMUDRA

Dia yang bertelinga samudra hingga hilang tepi
Aku menampakNya
memasuki dunia yang gaib dimana langit dan samudra
bertaut dalam diri menjelmakan nuansa
            wangwung
hanyut dalam deras sungai memasuki darah
keheningan
    maha luas
        kehenengan
            maha lepas
maka lepaslah segala keinginan
    segala penderitaan
        - Aku hilang -

Segalanya nampak samar
tak punya apa tak merasa apa
: di Samudra.
MELAWAT SEPI

Ketika aku bersimpuh mencium kakiMu
memanggilMu dengan sejuta Dzikir
sepanjang hari memenuhi bumi, Engkau
tak juga hadir menemuiku.

Dalam Khusuk sujudku yang pasrah
menghitung waktu yang senantiasa bertambah
menekuni namaMu merenungi kuasaMu. Purba

Ketika anggur membasahi keningku
ketika tersentuh altar kudusMu
betapa asing bau tubuhMu terdengar
dalam sanubari yang rawan.

Lantas ku bakar segenggam kemenyan dengan nasi
tujuh warna bunga tujuh sumber air
mengaliri kehidupan
lewat sebait mantra kekidungan yang nglangut
menyebrangi samudra wening tak tersapa.

Reguk, reguklah darah yang habis gairah
menyinggahi setiap batu setiap nisan mantra
sabda
hanya gelisah dan resah yang ku temu dalam singgah.

Dentang itu kembali berulang
saat aku tak ingin apa tak punya apa
menggemakan keasingan yang tak ku temu
dalam mencari.

DOA

Seberapa jauh aku harus nyebrang
samudra cahya yang tumbuh mata
dalam tafakur doa
pada setiap anggauta.

Berapa kali harus ku eja nama purba
dalam luruh sujudku mengawali doa
sebelum aku sampai kesana
pada saatnya.

Ketika ku ulang
aku ingin berpulang.
LAKU

ati kang menep
sumeleh ing samubarang
sumarambah ing laku
kang kapisan
kapindone
karep
niyat kang luhur dumadi
saka abdi-daleme Gusti
kang amung sawiji
kaping telune
niyat madep
lumaku ing marganing Gusti
anteping ati
niyat ing kiblat
sira bakal tumeka
pusering jagad pusering Dzat
kang anglimput jasad
iku kang kaping pat
kalimane pasrah
jiwa lan raga lumeburna
sajroning wahananing Gusti
amurbeng gesang
pasrah bali
pasrah anglampahi
gesang kang langgeng
pangkoning Gusti
.
BERPULANG

Jangan sambut kepulanganku dengan tangis
kerna tangis mahkota duri
menghadang cinta Kristus lewat tangannya
kerna tangis sayatan hati
menggores kening Kristus membekas luka
mengucur darah
    memberati langkah
        tersenyumlah
bagai Bunda Maria
buah anggur direguk hati dahaga
lapangkanlah jalan bagi anak domba
pulang ke gembala.

1986
PERCAKAPAN

Ada lintas keengganan di ruang tamu, sambil menyantap duka
di balik terali. Demi perlambang, kau selesaikan sebait
melati di halaman
( pintu duka mengurung, matamu basah kabut )
" Betapa berat menyandang hidup dalam kehidupan" ucapmu
" pasrahlah, kita sekedar titah" sahutku sambil menganyam angan
" jangan sesalkan Adam memakan rusuknya, sesalkan diri kita
  yang mengeluh menerima nikmatnya"


Terdiam engkau menatap cakrawala merah, senja lembut
menidurkan mentari nakal dalam pelukan jagad.

Tertegun engkau memasuki pintu berdinding kaca perlambang
kehadiran Adam baru.
" kita hanyalah seonggok daging yang dipadati nafsu dan
  merah diwarnai darah, berkacalah"
" kita selalu luput dari pertimbangan"
gumammu pelan.

Tertunduk engkau mengusap keharuan, sehabis bermandi sepi
di alam sunya.
" disini bumi lahir berakhir, pertama Adam menyantap
  rusuknya dibawah anggerangger menyembunyikan gelisah"
" yang kita kenyam hanyalah sisa Adam hari kemarin kita,
  yang bakal kita selesaikan di sisa usia"


Tersedu engkau bersimpuh di kaki Ruh
kaki keheningan.
SUARA

Barangkali surat yang jatuh di pangkuan tidak berkabar apa
bagai jatuhnya puisi tidak untuk siapa, kehadirannya
hanyalah kilat pisau menyimpan tajam di ujungnya.

Penantian hanyalah kesia-siaan yang datang dari sebrang
tak menjanjikan sesuatu tak memberikan sesuatu kenyataan
terlahir dari laku diri mencari jalan.

Penyeberangan adalah awal pergulatan melawan kodrat
dari mula mencari hingga menemu tatanan dogma bagai
jatuhnya sinar bulan membawa terang jalanan.

Hidup bukanlah sekedar menjalani kodrat dan menunggu
kepastian harus didapatkan sebelum tujuan sampai
kerna waktu tak bakal berulang menjemput yang tlah hilang.

Barangkali surat tak berkabar apa melainkan siratnya
bagai sebuah patung yang tegak sebagai perantara
menyeberangi jalan-jalan yang tak nampak dalam ukirannya.

Barangkali puisi hadir tidak untuk siapa tapi getarnya
melantunkan kebeningan mata air yang menyimpan sumbernya.

Barangkali aku tak menuliskan apa kerna keterbatasan kata
yang terlihat bukan wujud sesungguhnya dari getar
sebuah suara.

1986
SANG AJI

(   kakang kawah adi ari-ari reksaning awak
    teka tak celuk tak jaluk gawemu
    undangen jabang bayine danyang sumbi
    teka turu teka tangi teka ngadeg teka mara
    teka welas teka asih
    asih-asih saka kersaning Gusti Allah )


Ini malam hanggoro kasih saat dewa
menebarkan jala asmara
bagi kerinduan kasih tak terbalaskan
ku lepaskan padamu sebait anak mantra saat diri
tertidur dalam angan saat dingin
mencapai keheningan
masuklah !
segala benih kedalam ruh kedalam darah
mewarnai kehidupan.

Ini malam burung pedasih nembang
menyuarakan sepi nglangut kekidungan ati
melenakan kesadaran dalam bayangbayang asmara
melenakan penalaranku kedalam kekuatan di luar diri.

(   kakang kawah adi ari-ari sedulurku sejati
    kang lair bareng awak kang sumadyo mBiyantu awak
    kang setya marang awak
    tunggal karep tunggal sedya tak jaluk gawemu
    nglepas jemparing kamajaya
    papat niatku limo sedyaku wolu jejantraku
    tumekakno jemparing ing  pangkoning kama ratih)


Dalam tidur yang jaga bayangbayang kakekku
warna merah di wajah hitam pori darah
diminumkannya seguci mantra ke mulut kecilku
anak lanang kang neruske trah Rangga Rahina
Aku tak tahu makna tak pandai membedakan rasa
ku telan kebanggaan seorang cucu menyandang
kejayaan moyangnya
namun aku lupa menidurkanmu di peluk anak mantra.

Wahai, wahai
bangkitlah kesadaran di tiap langkah
bagi anak gadisku yang bakal lahir dari rahim Maria
demi Bapaku yang bertahta di surga
demi calon istriku - Bunda Maria
ibu terpilih dari yang terkasih
ku serahkan diriku
altar kudus
        secangkir darah
                   sepotong daging Kristus
                              ku masukkan ke rahimmu
                                        Roh Kudus
                                 pusat segala hidup
tak ada lagi yang memberati langkah
ku pertaruhkan kebangganku ku pertaruhkan
keinginanku ku pertaruhkan segala kekuatan
yang melekat
ku tanggalkan segala milikku
di pintu kesadaran.

Kita kawin,
tak perlu saling memiliki
sepakat mengawinkan hati dan pribadi di hadapan
Dzat tertinggi
Roh suci.

:   Salam Maria, penuh rahmat Tuhan sertamu
    terpujilah Engkau diantara wanita dan terpujilah
    buah tubuhmu, Yesus
 

:   Santa Maria, Bunda Allah
    doakanlah kami yang berdosa ini
    sekarang dan sampai waktu kami mati.

Amin.

1982
KIDUNG

Betapa alit tanganku menggelitik sabdaMu
yang terucap ketika aku merajut sepi
lewat nyanyiku yang ngungun menapaki waktu
menapaki pintu menapaki jejakmu yang menebar
segenap penjuru.

Nyanyi-nyanyi berubah jadi kidung
kidung-kekidungan berubah jadi lolong
lolong-melolong berubah jadi jerit, pekik
rintih
suaraku serak menyebuti namaMu.

Ketika lonceng gereja meninggalkan gemanya
lagu itu senantiasa ku ulang
dengan suara lirih takut terdengar telingaku
lagu itu senantiasa ku ulang
dari bait ke bait
       kalimat ke kalimat
               kata demi kata
                     ku eja
                   T u h a n
jejakmu meraja ke segenap pelupuk mata
Engkau dimana ?
ku bisikkan jua ke hati waktu
kerna mantra tak lagi terdengar
              tak lagi berkabar
sementara sabdaMu yang pernah aku terima
kian jauh dari cakrawala.

Rindu itu masih juga bersisa
ketika ku singgahi nisanMu yang kedua
MENUJU DERMAGA

Mempertemukan jemari kita saat sepi
ketika bayang-bayang luruh membentuk rupa
suaramu telah sampai sebelum kata lepas tangkai
menyuruki lautan senja

Gemerlap
    gemerlap badai melebur
        dalam sekian damba
pekabaran tanggal satu-satu dimuka jendela.

Hatiku lemah berucaplah
apa arti kekasih apa arti mencinta
sekian tusukan derita sekian waktu
pengorbanan
berapa jumlah.

Keresahan terayun di tiap langkah menapaki
jejak purba yang memenuhi cakrawala tak ku tahu
apa arti mencinta

Bunda Maria, perawan surga
ajari aku jadi gembala

Dari dermaga ke lain dermaga yang sarat damba
kutambatkan sejumlah rindu wujud persembahan
dihatimu - Maria
dihatimu
muara segala muara.

1986
DALAM DIAM

Mungkin engkaulah yang meniupkan angin santer
ketika diam-diam ku injak sabdaMu
di penghujung jalan.

Aku berjalan sendiri kini
diatas kegelisahan yang tiada berkiblat
delapan penjuru angin telenging samudra
dimana Bima menemu dirinya
         dimana Bima menemu hidupnya
                          aku mencari
                aku mencari
dalam kegelisahan yang makin mengendap
dalam detak Sang Waktu tak susut garis edarnya
dalam diam
         dalam tafakur
                dalam Dzikir
                        dalam doa
                                dalam sembahyangku
                                      kepada siapa
Bagaimana harus ku sebut dalam sujudku agar
Engkau senantiasa hadir menjamu langkahku.

Ku masuki longkangan tujuh hari tujuh malam
mati-ragaku tak menampakmu
                        hanya kegelapan
           hanya kegelapan
dalam diam.

Malam ketiga dari purnama ku dengar langkah
menapaki dinding waktu dinding telingaku
pelupuk mata detak nadiku menjelma jadi langkah
gema lima benua tujuh samudra langit dan jagad raya
akupun kebingungan
ketika langkahMu semakin jelas terdengar menjelma
jejak purba
Aku sesambat
suaraku yang nggrantes menjelma mantra memanjati
dinding cakrawala.

Mungkin engkaulah yang meniupkan angin santer
ketika diam-diam ku injak sabdaMu di ujung
gelisahku.
WAJAH

Wajahmu yang luruh menjelma kabut memasuki
pekaranganku yang tumbuh semak senyum
kakekku menghias dipojok sapanya, Amboi
betapa dingin angin utara
keheningan bermakna ganda menguliti sabdaMu
ketika pagi memoles wajahnya
dalam samadi
betapa dekat cakrawala tersaput warna.

Pada akhirnya kuambil jalan pintas
melewati kegelapan dan kegaiban aku berkiblat
meraba dindingMu berkaca lentera
bayangbayang semakin kabur
Aku lebur.

Tapi semuanya jadi bukan
megamega hanya fatamorgana cakrawala menipu mata
semuanya tak bisa kubawa menghadapMu
hanya kekosongan
kekosongan yang senantiasa menghadang.

Sesobek angin menyisir senja ketika usia
hampir saatnya.

1986
KEHENINGAN

Barangkali Engkaulah yang menanam jemari
saat malam menyempurnakan sepi
menyempurnakan keheningan hingga ke puncakpuncaknya
Engkau menyapa dengan gigilMu yang pelan menguak
hening samadi menggelar samudra cahya terang
temaram tiada panas gelap temaram tiada
dingin
menggayuti rasa kantukku yang sembunyi dikaki
kakiMu.

Barangkali Engkaulah yang menanam melati
ketika kakiku menapaki sepi.

1986

KELAHIRAN

Betapa arifnya wajah Bunda yang
menanggung derita akibat sabda
ditiupkannya ke rahimmu suci dan perawan

     Burung dara terbang menyibak awan
     kepak lirihnya ramah menyapa
     demi putraMu Bapa, ku ikut jalan surga
     mengembalakan domba dengan kesabaran
     bagai kau layani aku ketika pertama
     ku minum secangkir anggur dan darah.

Bapa,
perkenankan aku menciptakan Yesus baru
dibawah atapMu juga
dengan suara loncengnya yang merdu mengetuk
setiap pintu yang lelap
tertidur.

Wajah Bunda,
betapa ngungun menanggung derita.

1986
SANG BAYU

Kita lahir dan dipertemukan sebagai dua pribadi satu hati
dari bumi bernafaskan matahari
Aku elang rajawali terbang bebas bermata awas melintas rimba
mencari anak domba berbulu unta menyusup para
mereguk dahaga
padang sendang.
Engkau kelinci kecil, jinak mengendus rumputan
danau bermata bening dari hembusan angin menetes
senyumMu Purba
Anak serigala, merunduk di batang para
dengan kelicikan dengan kerakusan senantiasa memburumu
kedalam bayang
bayang cinta.

Kita lahir dan dipertemukan; bumi terkasih
melahirkan kata mencari makna menautkan hati jadi satu
kesatuan anak lidi
dalam kebersamaan seikat; Menyapulah
bagi kebersihan niat bagi latar
belakang rumah kita, jadikanlah istana.

Kita lahir dengan menyandang perjuangan dipertemukan
untuk menumpas penderitaan
berhembuslah Sang Bayu bagi laju terbangnya
Rajawali perkasa, mendukung anaknya.
Kuselesaikan penderitaan lewat panggraitamu yang awas
kita sepakat kawin sebagai alat pembidik jejantunging ngaurip.
- Kasunyatan kang manjing sajroning susuh angin.

1986
PERTEMUAN

Ku awali perkenalan lewat Adam
dengan bisiknya yang ramah Adam menyuapiku
kelaminnya kepala ular
Adam, Adam aku bukan cucumu yang terlahir
dari dosa lalu menanggungkannya
dengan tangis yang keras menyerupai doa
dengan kawah yang menyertaiku bukanlah cinta tapi hama,
hamamu Adam yang kau tebarkan
diatas benih tanamanmu
Aku anak Maria Bunda terkasih Bunda terpilih
yang menangis kerna dipisahkan dari cinta yang
tersimpan di rahimnya
Yesus mengajariku berdiri mengajariku
berjalan meniti sungai Yordan pertama
ia dipermandikan
sambil mengajariku mengenal kehidudupan mengajariku
menggembala domba
kakiku semakin kurus ditinggal Bapa
diatas salibnya yang tegak menggapai
angkasa cinta kasihmu
tinggal terpaku
di segenap pintu.

Tanganmu telah menyembuhkanku dari luka
kerna tanganmu cinta ucapmu cinta jadilah
Engkau gembala
kerna nafasmu cinta darahmu cinta maka
ku temu jejakmu dalam cinta.

ketika aku ngembara
kutiti jejakmu sebagai gembala.

1985
SEPI PERBINCANGAN

Ketika kau tidurkan aku dengan tembang
ku hapus bayang-bayang yang melekat
dalam detak Sang Waktu menapaki langit
langit kesadaran
menggores cakrawala dengan darah lewat mimpi
lewat gelisah ombak lewat kelembutan angin
lewat matahari membakar gairah: Ach.
Betapa cintanya Ia kepadaku.

Lewat kisi jendela kupandangi kepergianMu
bunga di jemari mengantarkan isyarat asing pagi hari
mengantarkan kekuyuan waktu
yang gagal ku tapaki
Aneh,
Engkau tak juga terluka menyambut belati
seulas senyumMu menebar cakrawala menjelma
mega-mega
( mimpi membutakan kesadaranku )
Ku habiskan hari tua dengan mengenangkanMu
melewati paritparit basah dengan bisik
menebar bunga di sudut kota
Engkau menciumku dekat
persimpangan.

Dalam dingin usiaku
dalam berat kangenku
betapa hangat berdiang dekat tungku.

1986
TEKA-TEKI
 
Marilah kita memecahkan teka-teki malam adikku
setelah melewati ambang gerbang menyusuri waktu
setelah menyepakati duka menjadi milik kita
berbunga tawa sepanjang usia
( lantas kebungahan hatilah yang bicara
  tentang keberadaan manusia yang menolakkan garisnya
  menjemput kilatan badai penghuni dada )

Bergandengan kita menyisir ambang senja
menguak satu mega ke lain fatamorgana
menemu tiada
hingga samodra menggelombang diatas tubuhmu
bentang gendewa melepas busurnya
yang kian susut garis edarnya, O bunga
tembang kinanti tinggal menyusuri rusuk sepi
kembang kantil berbaur bunyi prit gantil
ku tanam chochro kecil di ladangmu
lewat bunga tujuh rupa menuju sumbernya
lewat upacara tiada bermantra menuju muara
gaib dan keramat, yha Allah
ku tuntaskan firmanMu.

1986

Cover Antologi


Rabu, 14 Oktober 2009

Cho Chro Tri Laksono dalam PENGEMBARAAN, sebuah Antologi

PRAKATA

Pada awal-mulanya, artinya ketika manusia masih utuh, belum terpecah-pecah dalam watak dan karyanya, maka fungsi seorang agamawan, seorang ilmuwan dan seorang seniman, masih dirangkap, masih bersatu-padu, belum mengalami diversifikasi. Dan semua kegiatannya itu bermaksud untuk meraih, atau sekurang-kurangnya menggapai “the ultimate reality”, hakekat dasar kenyataan. Demikian dikatakan Edward Shills, seorang ahli sosiologi dari Amerika (lihat buku antopologi lain: Golongan cendekiawan).
Dalam antologi kecil ini kita berjumpa dengan lambang-lambang bahasa berupa puisi yang ingin menyuarakan pengembaraan seorang muda untuk meraih hakekat dasar kenyataan itu. Dan pengembaraan itu dilatar-belakangi oleh tradisi Kejawen, tradisi Kristen dan tradisi Islam.
Pemuda ini menggali dalam khazanah kebudayaan bangsa kita untuk menemukan sarana-sarana guna meraih hakekat kenyataan tersebut.
Apa gunanya? Limabelas abad yang lampau Agustinus telah memberikan jawaban terhadap pertanyaan tadi. “Noverim me, noverim The.” Semoga aku mengenal diriku, semoga aku mengenal DiriMu, ya Tuhan. Identitasku yang sejati baru ku ketahui didalam terang cahaya Tuhan, Nur Illahi. Dan identitasku yang sejati bagi orang jawa berarti warisan leluhurnya, alam pikiran dan perasaan kejawen.
Ini bukan semacam “escapisme”, pelarian dari dunia nyata. Justru ini berarti mau mencari hakekat kenyataan, mencari apa yang tersembunyi dibelakang kulit gejala-gejala yang disentuh oleh panca indera kita dalam hidup sehari-hari.
Semoga pembacaan Antologi ini membantu kita masing-masing dalam pengembaraan kita juga untuk mencari dan menggapai, kalau tidak meraih, “the ultimate reality” itu.



ttd



Dick Hartoko
Ketua Yayasan Karta Putaka
PARANG KESUMO, JELANG SURO

Kucari Engkau, yha
kucari
     di sela debur ombak
           di sisa dingin hujan
                di pasir-pasir basah
                      aku ingin menyapa, aku ingin
                                                    bersama
                      dalam dingin peradaban
             dalam hitam kopi malam
dalam banyang-bayang kematian
membuka resia kehidupan
       mengolah langit dan samodra
             mengolah suara jadi rupa
                   mengolah bayang jadi bentuk
                          dan mengolah hidup
                               kehidupan
selalu kalah dalam percaturan.

Kucari Engkau, yha
kucari.

1981
MALAM
(sepi perbincangan)

DI PINTU PEKUBURAN KU LIHAT TUBUHKU RENTA
BERKUTAT DENGAN MAUT, BEREBUT USIA

Suara-suara dalam gelap mengibarkan tirai putih
bergumpal lalu sinar turun
menyambut kedatanganku.
" Engkau sendiri disini menunggu keajaiban,
menghabiskannya kemarin dalam kitab engkau
menginjak dengan mulut menularkan sengsara
kerna lupa sampai dimana kekuatan kata".
Aku terduduk melihat pemberontakan, ruhku putih
segumpal kapas menyelimuti jasad.
" Lihat, betapa kecil ia Sang Aku Guru Sejati
betapa kecil ia jagad di pangkunya
rumah yang kau huni jalan yang kau lewati
warna berbaur dalam diri. Ku bawa Engkau
Rahsa jati tahta Tri Purusa".
Aku terduduk merenungi cermin yang kemarin
dalam hening dalam heneng ku masuki jejantung
ngaurip jejantung kalbu.
" Ku buka kesadaran kerna engkau
menggenggam kepercayaan menyimpan kesetiaan
kerna engkau berbekal keyakinan maka kau
pasrah di kaki-kakiKU
Engkau telah menerima hidup sebagai kasunyatan
dan penderitaan sebagai jalan
benar yang engkau tempuh
memilih hidup menderita atau menderita
penderitaan sebagai penderitaan atau
penderitaan sebagai ujud pencapaian
Tolehlah dirimu".
Suara dalam gelap menyibak tirai lalu sinar
menuntunku. Menghapus bayang-bayang.

DI PINTU PEKUBURAN KU LIHAT TUBUHKU RENTA
TERSENYUM MELEPAS KEPERGIAN. ALAM LANGGENG.

INNA LILLAHI WA INNA ILLAHI ROJIUN.
TUHAN, AKU MENGHADAP

Tuhan,
aku menghadap
dengan kaki gemetar tangan terkulai
di pangkuan menghitung jari dari bilangan dosa
membangun menara diatas neraka
kerna kelahiran adalah penderitaan, kehidupan
menjelmakan penderitaan, lalu menyelesaikan
     : Dan kematian adalah ujud
       penyempurnaan.
Gemetar do'aku kerna tanah terjanji, dalam ketakutan
sangsi-sangsi, sebuah ajaran
ingin kuhapuskan semua perjanjian dari awal kelahiran
aku bersikap
berangkat dengan keterbukaan, membenturkannya
     : Al Kitab, kehidupan, akal, adala ujud
       kebijaksanaan.
Berjalan menurut suara Sang Gaib, merangkulnya
Alam luas kembali ke Aku
     kehidupan kembali ke Aku
          Al Kitab kembali ke Aku,
                      Tuhan
dengan kaki gemetar tangan terkulai di pangkuan
aku menghadap sebuah
peradilan.


1982
TERMINAL SATU

DENGAN KEBIJAKSANAAN TUHAN
MENIUPKAN SELEMBAR RUH
KEDALAM DARAH
KEDALAM DAGING

Buah yang engkau turunkan padaku
ayat-ayat
belum lagi masak untuk persembahan
sore hari.

Dibelakang rumah kita
mengolah hidup
ayat kehidupan lebih keramat
dalam mati.

Mati sebelum mati
mengenyam matahari
Baitullah
dalam diri.

Diri manunggal ing Gusti
terbuka jarak terbuka jawab
usia tak dapat mengalahkan
Kelanggengan.

Hening
Heneng.


TERMINAL DUA

DENGAN KEBIJAKSANAAN TUHAN
MENIUPKAN SELEMBAR RUH
KEDALAM DARAH
KEDALAM DAGING

Buah yang engkau turunkan padaku
ayat-ayat
belum lagi masak untuk persembahan
sore hari.

Dengan keterpaksaan, mereka
mengolah hidup
kewajiban, ayat
sangsi ditumbuhkan.

Yang terwujud kesadaran adalah
pasrah
yang terwujud kewajiban
ketakutan sangsi.

Pasrah dalam manembah
membuka kunci kesadaran
ayat tak lagi wujud sangsi
kewajiban.

Sunya
Ruri.


TERMINAL TIGA

BUNGA MADMA MUHAMMAD
MENERIMA SABDA
AKU BERKENDARA

Malam sepenggalah bulan Sukma
larut nafas dalam cinta
tumbuh membentuk Aku
dalam tidur yang jaga
bayang-bayang Cinandi.

Hening bening buga madma
aku berkendara mengetuk samudra
mengetuk langit mengetuk kegelapan
mengetuk segala pintu lalu
bersimpuh.

Luruh haru segenap rindu
ku tenu Nur pijarMU
sejuta nikmat terbuka : Jawab


TERMINAL EMPAT

Inilah hari yang pernah terucapkan
melewati lorong gelap pekuburan sepi
suara tapak suara bisik jerit tak nampak
tulang
pucat wajah menyulam sesal bagai anjing
diam
(sepi semata)

Inilah lonceng dari langit katedral. Merdu
bagai ayunan maut menjemput suara jubah
menyapu lantai dengan senyum mengetuk
pintu dengan darah menyeret langkah.

Inilah padang perburuan
wajah nanah gelisah darah
mahkota tanggal keangkuhannya
(cangkem kari wiso moto tanpo cahyo)
Aku berjalan menyibak, tak ku kenal wajah.

Ku bentang lidah bagi sirothol Mustaqin
meniti jalan perimbangan hidup-mati
suara melengking, alunan musik, tangan lunak
menuntun kearah pintu : Ya Allah !
Aku pasrah.

(sinar kuning kehijauan memancar di pusar)
Amin.

1982
TADARUS
(seusai tarawih)

Embun meluncur dari mulut tercium bau
ludah. Sesudah mengenyam segenggam kitab
lantang berucap tentang hidup tentang
Tuhan tentang surga tentang janji
tentang sangsi
( atas nama Tuhan menghalalkan cara
meletakkan kuasa )

Kitab adalah buah apel segar
dimakan isinya dikupas kulitnya
Kitab adalah durian harum
dibuang kulitnya dimakan isinya
( para sufi memakan sarinya
memakan intinya )

Kita terlampau sibuk menyandang atribut
sebelum berperang menghunus pedang
membunuh musuh sebelum sempat
mengencangkan ikat pinggang.

Jangan lawan pedang dengan parang
lawanlah dengan ayat sebagai kau
nggembol jimat
jangan lawan dendam dengan kesumat
lawanlah dengan takbir sebagai puja
puji keramat
( Putra Allah tersenyum
dicincang Yudas
disalib Herodes )

Marilah kita berwudhlu bagi hati
berpuasa bagi nafsu dan mengaji
kasunyatan.

1982
AKUKAH ITU ?

Bayangan Aku-kah itu ?
yang melintas di cermin dan menggapai
tangannya
di pekuburan sepi.

Bayangan Aku-kah itu ?
yang selalu bertanya kepada siapa
untuk siapa
di tanah mati.

Bayangan Aku-kah itu ?
berwajah pucat menghitung hari
mengenal asal
kapan kembali.

Bayangan Aku-kah itu ?
duduk diam hening sepi
di Paramadma
sempurnakan diri.

Bayangan Aku-kah itu ?

: Hampir-hampir aku tak mengenali.


1982
LAGU PERSEMBAHAN
: kepada kawan seperjalanan

NUR KEKASIH
LAHIR DARI BUNDA TERKASIH
MENGULURKAN JARI DI PINTU PUTIH
LAGU BURUNG PEDASIH

Terbaring aku mengenang
mereguk malam demi malam memburu kata
tak sejemput punya makna
lupa aku mengenal wajah diri
mengenal rusuk Adam. Tuhan
tiupkan nyawa : Aku mengaca

Telanjang aku mencium kaki
tahta surga daun terkunci pintunya
di hitam rambutmu, kabut
sembunyikan jarinya
betapa sempurna.

menyentuh tanpa meraba menyapa tanpa bicara
menjawab tanpa ditanya
( dihadapanMU kata kehilangan makna )
dengan keterbukaan penuh kejujuran
dengan kewajaran penuh kesabaran
dengan kesadaran penuh kebijaksanaan
dengan segala kekurangan ku persembahkan
: Hilangkan persangkaan.

Rindu, ku peras darah
kedamaian.

1982
AJAL

I

Bayang-bayang
mengendap lalu menyelinap dalam gelisah
nafas gemetar dalam ruh
Aku memberontak
        pada Sang Nasib mempertanyakan usia
        pada Sang Maut yang menyambut pesta
        pada penderitaan Sang Kelahiran
        Sang Kematian.
Ingin kusempurnakan jalan yang pernah
tercatat dan terlewat
Ingin kuhapuskan perjanjian lalu mengumandangkan
pembebasan dalam
Ruh.
      : Bayang-bayang gemetar dalam doa
        penghabisan.

II
Jerit panjang
nelontarkanku ke awang-awang ke tanah sebrang
jalan panjang tanpa siang tangpa malam, waktu
kehilangan pedoman
sosok diam sosok menggelepar wajahku
penuh warna.

langit-langit tempat berteduh lantai-lantai
alas berpijak, dinding batas usia
ingin ku tinggalkan dengan penuh
kesadaran
wajah-wajah luka ingin ku hapuskan dengan
penuh kesabaran.

Bayang-bayang mengendap
Bayang-bayang menyelinap Sang Aku
menghadap.


1982
PENYALIBAN

I


Ternyata aku selama ini keliru menatapMU
sesosok senyum di kayu penyaliban dengan darah
mengalirkan ketulusan
                          cinta kasih
                                    sampai kemana ?
ada rasa nyeri tersimpan luka, di lambung
penderitaan
         tombak dendam
        duri mahkota
( Engkau tak juga rela melepas kepergian )

Ada sedikit rasa sesal meluncur dari sudut
bibirmu yang penuh oleh senyum
kerna usia terlampau cepat terenggutkan
sementara tanaman belum selesai tumbuh, dan akar
belum kuat mencengkeram tanah.

Engkau keburu pergi, dan
Aku harus mencari.


II
Pintu-pintu kotamu tlah sepi dari pesta hari
ketiga kepergianMU menyempurnakan cinta
benih-benih tlah tumbuh dan mata
tlah terbuka menyambut derita.

Jalanan yang pernah kau lewati, orang-orang
berbaris sambil mengumandangkan lagu
Damai di Bumi
         Damai di Hati
                  Kasih meliput sanubari
berkumandang ke seluruh pelosok negeri.

Mereka berarak berkeliling mewartakan
pekabaran tanah terjanji
Kristus meminum darah
                      kesucian
                              memakan tubuh
                                        kedamaian
                                                meniti jalan
                                                         keselamatan
                               : Tombak darah mahkota duri
                                      kuda duniawi dihapusnya
                                                di kayu penyaliban
                                                                         .

Orang-orang mulai ramai menyalibkan cinta
di pintu-pintu mereka.

1982
PERJAMUAN

I

Anyir tubuh kita, bau luka
mulut-mulut penuh bisa mendendangkan
ringkik kuda.

Marilah
kita berbasuh anggur sejenak
mencucikan luka lama sebelum kita
berangkat ke pesta.

II
Inilah darahku, darah cinta kasih
                            sesama
                      dunia
yang mengguyurkan ketulusan
yang mencucikan dendam.

Minumlah,
sebelum usai pesta seteguk luka akan
segera musna.


1982

PENGEMBARAAN

I

Seperti selalu bergetar
seperti pernah terdengar
gumeter sworo tembang
tengah wengi
kawulo manembah, kawulo ngabekti
kawulo manunggal
Ing Gusti
.

II

Kerna aku hamba aku meminta
kerna tak pasti aku mencari
nglemboro golek margo
margo kang bener lan pinercoyo
pinercoyo dening kawulo
kawulo kang gumeter salebeting suksmo
sejati
.

III

Mantera-mantera
nglangut terdengar di kejauhan
menggemakan kepurbaan hidup
dan kasih yang jauh
Negeri Gaib
senyap kata
lengang suara
(heneng-hening tanpo suoro)

Ruh-ruh gemetar melihat
bayang-bayang terbaring menghadap
keheningan
.

IV

Pernah,
aku berdogma
       aku berdusta
              aku berdalil
                     aku berdalih
                            aku bertaubat
                                   aku berbuat
                                          aku bersetia
                                    mengkhianatinya
                                   aku mencuci
                            terkotori

seperti yang pernah terucap adalah
                 kegelisahan
           kecemasan
    ketakutan
              diri
          dalam
saputan warna
kusam dunia.

Ingin dalam pasrahku                                         Ingin dalam salahku
        Sumarah                                                               Seleh
                                      Ingin dalam diamku
                                            Manembah
                                                         .


V

Hening
         heneng
                  tanpo suoro
                           heneng
                                    hening
                                             tanpo rupo
                                    heneng
                           hening
                  tanpo roso
         heneng
hening
.

                                                 tan keno
                                         kinoyo ngopo
                                                            .


1982
PENGAKUAN

Atas nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus
Atas nama Sang Aku


Langit dan bumi adalah Aku
surga dan neraka adalah Aku
kehidupan dan kematian adalah Aku
kesementaraan dan kelanggengan adalah Aku
segala sumber segala muara, segala cipta
segala musna, segala kebenaran segala
kesadaran segala tanya segala jawab segala
ada dan tiada
( segala jarak tak terpisahkan )
sejuta wajah sejuta maaf sejuta kasih
sejuta warna sejuta nikmat sejuta makna
kebijaksanaan
( karma dan pahala sama saja )
: kesemestaan yang kuasa

Tuhan dalam sosok : Aku.


1982

JEJAK



I
Terkadang, persimpangan jalan membuat kita
asyik
menekuni jejak.

II

Kelegaanpun menyelimuti jalan
jalan yang kita lewati adalah kata
kata sakti
tak pernah terucapkan.

III
Kata sakti tak terdengar bila di ucap
ia gemetar tersentuh tindak
bijaksana.


1982
TEMBANG SAWIJI

Sukmanen sadinten-dinten
jatining pandulu kanti sayekti
ayuning kayun handarbeki
lamun lugu ngangkah bekti
datan sumelang, ingsun
bakal panduk ing Ndon.

Liyap liyep lumiyeb
kambah saniskareng laku
lumuyut manganyut-anyut
praptaning uwis
sepi sepa samun sinawung
ilapating wahyu
tumekeng kabukaning kijab
'Ullah Agaib.

1982
DENPASAR, SEBUAH UPACARA

I
Ini cuma persinggahan sesaat
akan kita catat lalu lewatkan
dalam gumam.

II
Kita bernafas lega sejenak, setelah
setapak kita melangkah, mencatat waktu
menghabiskan usia yang makin susut
dari keyakinan.

III

Kita bukannya semakin dekat pada tujuan
setelah melewati usia renta, kita
semakin tak tahu arah
kaki menapak.


1982
MEDITASI

I

Ada kurasa getar, seakan
membebaskanku dari beban, jarak
membuka jagad alit menelanjangi
kehidupan.

II
Ingin ku rengkuh jarak, setelah pendakian
pada pendakian yang kesekian aku tak mampu
menyibak pintu
jarak.

III
Ada batas tak tertangkap yang kuasa
menyimpan beribu tanya beribu jawab
lalu membebaskannya ke batas
tak tertangkap.


1982
SIAPA BERDIRI DI BALIK GEMA
SIAPA MENYEBAR JEJAK
SIAPA MEMBAGI ROTI


Bening suara tanpa rupa, selalu bertanya
                            dinding bertanya
                                 gunung
                             laut
dan langit bertanya
                   Siapa berdiri di balik gema
                          Siapa menyebar jejak
Siapa membagi roti di balik panji ?
Merpatikah Engkau kan ku cium
                                 tapak
                kan ku jilat
                darah
agar terbuka
resia
Mu
.


1981
PRELUDA

Tatkala sebuah kumpulan sajak telah dinyatakan "rampung" maka preluda terhadapnya menjadi lebih layak dianggap sebagai "angin lalu" ketimbang sebagai "penunjuk jalan"
Sebuah kumpulan sajak paling tidak akan berbicara tentang penyairnya, lengkap dengan latar belakang kehidupan dan eksistensi kepenyairannya, dan tentunya juga akan mencuatkan sekian macam problema kehidupan kepada pembacanya.
Atau paling tidak , sebagai pembaca sajak yang baik kita mengharapkan dapat memperoleh semacam "wisdom" seusai menikmatinya. Itu wajar dan "sah" sekali.
Demikianlah, PENGEMBARAAN Cho Chro Tri Laksono tentunya telah "rampung", sebab telah hadir di tengah-tengah kita.
Darimula, tentunya ia berusaha mengibarkan bendera-bendera problema hidup dan kehidupan, tentang ia dan dirinya, tentang ia dan alamnya, tentang ia dan sesamanya, dan tentang ia dan Ianya.
Tapi dapatkah ia membukakan daun pintu sebuah kamar yang penuh rahasia, menuntun kita masuk dalam situasi yang meditatif, samadi, dst. dst. dalam dunia yang kita kenal sebagai dunia kata ? Marilah kita nikmati bersama, kita kunyah bersama PENGEMBARAAN ini.
Kalaulah kita akhirnya mengatakan ia belum berhasil membangun Dunia itu, barangkali itulah sukses yang tertunda. Akan tetapi jika kita bilang ia telah berhasil, ia barulah masuk dalam terminal pertama. Dan kita layak pula beresan jangan keburu bangga. Sekian ratus terminal masih menunggu dilampaui. Dan Sang Waktu yang akan senantiasa menguntit dan mengujinya, dan mungkin atau bahkan menjegalnya.
Begitu ?

Yogyakarta, Awal September 1982
Salam

Suminto. A Sayuti
SONET
(Gadis berambut panjang)

Beri aku sedikit nyanyi pertempuran
kerna aku angkuh ku guncang bebintang
(sementara beberapa jatuh di pangkuan)
Gelisah, gelisah, gemuruh dalam debar
Malam turun menyambut pekabaran; katakanlah !
Wahai: "Gembala kehilangan dombanya"

Rambut panjang menyapu kerinduan
malam-malam anak gembala terjaga
lupa meniup sulingnya
(sementara bibirmu melepas senyuman)
Datanglah Wahai: " Siapa ?"
Bayang-bayang mengetuk keheningan

Malam makin memberat di pintu
renda putih tergetar dibelai angin
seperti ku kenal wajah di luar (?)
Wahai, gaun pengantin menyapu tanah: masuklah
tlah kusediakan roti sakramen suci anggur ekaristi
(bayang-bayang tertegun-tegun menyeret langkah)

Ach ! jangan pergi
rambut hitam menggerai
sepi.

1982

PRINT AD

Add caption ...