Kamis, 24 Desember 2009

B U M I

Aku senantiasa kembali, menatap langit bertepi bumi
disini, Adam pernah merajut rusuknya dengan buih
pucuk gelombang menghempas cakrawala, O
Bethara Surya - betapa nakalnya
Kunti Talibrata terpanggang diatas bara
telinganya - seorang bocah bermain membentuk gua
(  gelombang datang menyurukkan pasir
   lidah buih Bathara Surya meniti tepian kainnya
   tersingkap angin merona wajahnya )

Yha, jiwaku kanak-kanak
jiwa Kunthi bermain ayunan
tangan ombak menghempas
karang batuan.

Aku kembali berdiri, sendiri menatap langit-langit bumi
dimana terkubur benih kenakalanku. O, perihnya dahaga
ku teguk ludah dari wangi mulut penuh aroma
mengaburkan pandang kesadaranku.

Aku berdiri sendiri kini, bercermin bumi
yang senantiasa aku injak dengan kepala tengadah.

april 22, 1987

T A H U N

Suara jiwa yang mengalun dahaga
rinduku pada kembang - sedap malam
ku tanam setangkai dua di kegelapan
kertas-kertas, daun bayangan matahari
kian tergelincir menyemburat warna jingga
membias wajah
       wajahku
                wajah kita
rona senja mencium kening cakrawala senantiasa
merekah pagi terik siangnya lantas sembunyi
kegaiban
    kearifan
usia terus berjalan melewati malam.

maret 31, 1987

Rabu, 23 Desember 2009

T E M B A N G

Betapa inginku menuliskan tembang tentang awan
muara negeri yang mengalirkan angin keras
dalam rusuk Adam berongga nada - sumbang
mempesona kelana memasuki gerbangnya
     ( bias-bias langit di cakrawala
       aku arungi bersama ).

Barangkali aku mulai menyadari arti
rumah yang kau huni tanpa upacara pagi hari
itu bukanlah milikku
dan pesta setanggi bunga yang ku taburkan di antara kamar
dan altar adalah riak gelombang
membentuk fatamorgana
dan itu bukanlah istana ujung perjalanan dimana aku
menyusuri jejak resia dengan dinding
dindingnya berhias darah air mata
langkahpun jadi sendat dengan tangan senantiasa
menggores-gores kaca hingga wajahku berembun
tak terbaca
akupun terus bermimpi tentang kolam dan taman
akupun terus bernyanyi tentang gelombang dan awan
akupun kian jauh mengembara lantas lupa kembali
rumahku sunyi tanpa hiasan
dindingnya mata beratap mega nafasnya
entah pergi kemana.

Riak gelombang datang berulang
menyurukkan tembang mimpi siang
yang senantiasa aku basahi dengan darah dan kurban
yang tak sempat aku benahi ketika pagi menjelang.

Dengan suara sumbang akupun nembang
tentang seorang kanak-kanak yang meniti hari
dengan menyulam sisa kainnya yang robek
disana-sini.

Oktober 87, revisi desember 24

ASMARA RAMA

Barangkali aku tlah sampai batas
kepasrahanku sekedar wujud rasa putus asa karna
bagaimanapun rendahnya langit bumi tak kuasa
'tuk menggamitnya
hanya kening malam yang kelam hitam
bagai sosok kemesraan dan akrabnya bebayang
cinta dalam kegelapan saling menyembunyikan tangan
dengan irama gaib menggelepar debar
buah Adam - gairah, cinta sama wujud
menara api bagi Shita di puncak asmara Rama
bara panas yang menjilat angkasa adalah wujud
kesetiaan dan kesangsian yang berebut
          keangkuhan - kebenaran
terasa begitu samar ntuk diperbincangkan
dan langit kian hitam hanyalah saksi dan selalu
jadi saksi
tentang keangkuhan yang senantiasa mengaburkan arti
kebenaran.

februari - september 1987

D E W A R U C I

Yang tak terpegang itu dingin angin
tiada berdaging ding - ding - ding
darahnya mengalir di angkasa bunga
tujuh samudra kedalaman diamnya
cahya delapan di keheningan henengnya
- kang ijo maya-maya tanpa rupo
  kang sepi sepa samun tanpa swara
  tan kiniblat araning Rat
  yha kang sidem premanem ayem tentrem
  tan bungah tan susah tan gumragah alaming
                                Rah
                        Rah kang Roh
                        Roh kang Rat
                        Rat kang Dat
kabeh bali ing telenging samudra
kuping kiwa.

februari 19, 1987

Jumat, 18 Desember 2009

BENIH

Dengan tangan-tangan lentik dibentuknya
seekor merpati dengan kepak belati
menebar di cakrawala menjelma pelangi
yang siap mengolah tanah jadi ladang padi
membalikkan tangan mengalirkan lahar api
meluapkan kesuburan dan kegersangan
dalam satu genggaman.

Ia adalah Ruh Tuhan yang menciptakan
seisi bumi dengan setan dan imam
Ia adalah Sang pembidik kearah mana
benih ditebarkan
Ia sang pengolah hidup dengan Rahim Tuhan
yang menghembuskan nafasnya disisi telinga
hingga gairah tak jadi padam dan hidup bagai lautan
dengan matanya yang elang ia mengajari terbang
melintas badai menembus awan mencari
kasunyatan.

Ia adalah sang Hidup
Ia adalah sang Mati
kearah mana ladang benih ditebarkan
nafasnya bernama bumi.

desember 11, 1985

ALTAR CEMARA

Ada berapa entah tercecer di jalanan
tak kuasa aku pungut senantiasa ada
dalam pelukan
O, andai dapat kurapatkan impian dan kenyataan
barangkali kenangan bukan sekedar sulaman
yang tiap detaknya menggoreskan luka
bait-bait puisi bakal mengepakkan sayap
melewati ambang fajar menguapkan embun di daunan
selangkah lewat kita biarkan tanpa makna
( kita saling bersitahan dalam kedinginan malam )
cemara natal menderaikan daun-daun sepanjang jalan
aku tak kuasa menjumputnya, juga kau
tangan-tangan sutera
entah apa sedang kau lukiskan dengan untai melati
yang tiap saat kita tebar pujapuji
entah berapa darah menyimbahi latar suci
yang tiap saat kita basahi dengan berahi
buah adam kita makan sambil menyembunyikan tangan
O,
betapa kita bisa bernyanyi di kebun hawa
tanpa lukaduka menggores wajah kita.

Derai-derai cemara telah kita lewati
seperti mengecup altar suci sambil onani
(kita masih berdiri tegak, terasa enggan turun dari taman ).

desember 5, 1998

J A L A N

Burung hantu yang bersuara dari hati
kian tajam merambati hari
di luar, bulan terang
menggerakkan angkup nangka diatas pusara
barangkali perjalanan akan berakhir disini
atau akan terus mengembara ke padang hingga
menemu fajar sebuah negeri
tapi surga bukanlah surga bagi Adam tanpa rusuknya
dan negeri (pun) hanyalah impian pengembara
sedang burung menemu kebebasan dalam sarangnya
lantas untuk apa pergi untuk apa mencari
kalau dalam diri tlah ada segala
surga dan neraka mengintai di baliknya
sebuah tabir
begitu jelas nampak hampa ketika dibuka
dan kita tak perlu bertanya.

januari 2, 1987

S A L I B

Ketika ku tatap salib
tak kulihat denyut tuhan
seraut wajah terpaku di tangan.

Ketika ku tatap ulang
seonggok daging dengan darah membentuk lubang
lengkap dengan duri di kepala.

Lantas ku tadahkan tangan
membasuh wajah lewat lambungmu
sambil menggumamkan kata di depan salib
"Ternyata Engkau manusia disaat akhirmu"

januari 3, 1987

JENDELA

Gerimis di luar, dinginnya tertahan di jendela
buram,- aku berkaca
( bunga hitam di bingkainya )
melintas seraut wajah, menghuni rongga
"engkaukah itu ?", seokor kucing mengeong di muka pintu
( pelan malam menyelimuti tubuhnya jelaga )
"Akukah itu ?", musik mengalun pelan ditingkap suara serangga
( malam kian merayap membenamkan tubuhnya kelam )
betapa akrab sosok dengan bayangnya dalam gelap.

Ku rapatkan tubuhku di jendela
dan bayangan yang memantul membuatku
tak ingin berkata.

januari 4, 1987

G E R B A N G

Sepi merayap memasuki gerbang kota
menggoyang-goyangkan nyala lilin dalam kamar
membentuk ceruk yang dalam
aku diam-mengetuk-ketukan jari di jendela
suara langkah mengendap pelan seirama detak
jam dinding kian keras mendekap kesunyian
kamarku – aroma sedap malam
langkah kian mendekat – langkah-langkah kami
berjalan diantara gerbang-gerbang kota tengah malam
menelusuri lorong dengan tembok kanan-kirinya
kian menyatukan langkah kami dengan semesta
( saat itu terasa, betapa perlunya saling melindungi )
di luar, angin membeku dalam kediaman
kami tak lagi
membutuhkan kata.

januari 5, 1987

K A B U T

Barangkali kabut tlah mengendap di kudukku
saat malam merayap demikian perlahan seirama detak
darahku begitu dingin meraba pintu
"siapa diluar ?", ku toleh sekelilingku
( dinding-dinding menatap beku )

Tiba-tiba aku disergap ketakutan pada entah
denting piano memantulkan rindu serigala
akupun bernyanyi bersautan dengan dinding
mangatasi waktu hingga tak ku kenal mana
suara mana gema
aku terdiam – dinding-dinding terus bernyanyi
mengulang-ulang suaraku dari awal kembali mula
mengetuk-ketuk hela nafasku
dan kabutpun terus mengendap dengan tangannya
siap menerkam di belakangku

januari 6, 1987

D A U N

Pagi yang menetes dalam ruangku bagai bebayang
memantul di jendela
biasnya terasa buram menggarut kaca
desir angin menggoyangkan daun cemara
berderai jauh – erat menggenggam
tetes-tetes air membentuk kubangan.

Selembar daun luruh
melayang pelan mengucap pamitan
dan getah yang menetes dari dahan
begitu pekat dengan kenangan
sebuah keharuan menyelinap dalam kebersamaan
bukan sekedar pertemuan perpisahan
ia melekat di dahan walau daun
tak lagi berpegangan.

januari 8, 1987

P I N T U

Aku ketuk pintu pagi-pagi ketika jendela
belum membuka matanya
serumpun mawar berselimut embun di kelopaknya
"selamat pagi adikku, hujan fajar bakal menyambutmu
di pintu, tetes-tetes air membentuk kubangan
barangkali jalan akan menjadi licin
atau barangkali kita bisa bercermin
dengan wajah menggelombang".

Aku ketuk pintu pagi-pagi ketika kupu-kupu
belum mengepakkan sayapnya dan burung
belum menyelesaikan kicaunya
( engkau menggigil saat angin mengusapkan
jemarinya di wajahmu )
pelan-pelan aku menyelimutinya.

januari 11, 1987

PRASASTI

Ada guratan kecil pada sebuah prasasti
tentang jalan simpang yang bakal kita lewati
"kita perlu singgah".
ucapmu sambil menghembuskan nafas kuat-kuat
"sebelum melangkah menentukan arah".
- angin berhembus disisi kainmu
senja yang tinggal sesobek menggantung di cakrawala
( ingatanku melayang pada Bunda Maria
  wajahnya yang perawan menuntunku di pematang
  dalam kegelapan ).

Dan pada usia dewasaku yang hampir sampai ujungnya
aku belum mampu menanamkan benih bagi pohonan baru
dengan akar-akar yang kuat mencekeram tanah
serta daun yang lebat menyembunyikan kerindangan
wajahku,
yha wajahku yang tinggal sesobek senja
masih menggantung di cakrawala
( langit kian muram dalam detak jam
  kegelapan dengan setia menanti kehadiranku
  kembali dalam pelukannya ).

januari 31, 1987

A L A M

Biarkan kelopak memekar dan putik
menebarkan wangi aroma di tamannya
karena anugrah alam seiring dengan hukumnya
terik mentaripun akan turun diselimuti senja
yha, kenapa kita harus bermenung-menung
mereka-reka bentuk impian ?
mawar tak akan menjadi anggrek
dan rajawali tak akan menjelma merpati
betapapun kita memberinya jagung dan bulir padi.

febuari 1, 1987

Kamis, 10 Desember 2009

B A T A S

Engkau awan aku lautan
angin menerbangkan angan
berarak
angin menggelombangkan buih
ke puncak
gemuruh suaraku terus memanggil
mengkais-kais pasir tepian
gemeletar tanganku menggapai
lantas luruh tak sampai
gigil kerinduan diam
di kedalaman.

september awal, 1987

P E T A K

Sungguh, keberaturan yang aku jalani
bukanlah keberaturan menurut tatanan
aku melangkah dari satu petak ke petak lain
yang di tiap persinggahan menemu kebebasan
Sungguh, aku ingin memeluknya
sepenuh pelukan aku rapatkan bagai orang lain
rapat memeluk tatanan, yha
ternyata keberaturanku ada dalam kebebasan itu sendiri
dan tujuan yang aku canangkan semenjak dini
aku biarkan bebas mengelana hingga menemu
sumberNya.

september 241987

K A M A R

Ruangan ini,
dimana dinding-dindingnya berdiri kaku
aku menyulam di dalamnya
lewat rusuk Adam aku menjalin cerita
tentang kegagalan langkah dan duri
yang terserak di jalanan.

Rusuk kananku adalah teman melepas kaki
dari tiap sandungan, langkahpun menjadi ringan
dan ketika rusukku patah, aku terus menyulam
sendirian
mengunci mulut dan relung kamar
dinding membentuk lukisan.

Ruangan ini,
segalanya terasa sempit dan pengap
pikiran tentang langkah dan arah ku letakkan
dan gerak yang terbentuk karena kehendak
ku jalani dengan jiwa pasrah.

september 25, 1987

KALAULAH

I.
Kakiku guyah hilang keseimbangan
dalam relung sepi yang sunya
padang tiada tepi
tiada cakrawala langit bumi
dan matahari
terang tiada gelappun tidak
entah apa.

II.
Kalaulah sinar
bukanlah cahaya yang keluar dari sumbernya
kalaulah terang
semuanya tampak serba maya
kalaulah ku kenal diri
masih ada yang menyelinap lepas
membidik matahari.

III.
Kalaulah tlah ku temu
semuanya tak ada dalam genggaman
kalaulah belum
aku sudah
kalaulah sudah
akupun masih entah
yha Allah
kiri kanan atas bawah bukanlah arah
dan yang terlepas bukanlah anak panah
yang melaju menuju sasaran
tapi sasaranlah yang membidik kita
hingga segalanya jadi tiada
nampak jelas di relung-relung samudra.


oktober 18, 1987

ASMARA SHITA

Ketika Rahwana bangkit dari dalam dada
ku rasakan kehidupan mengaliri darah
lantas ku rentangkan tangan menebar aroma
keyakinanku pada Shita yang terpana
kijang kencana memasang jeratnya
O, wanita mana yang tak tertarik pada kilaunya
sejangkauan hasrat bakal teraih jinaknya
" Wahai Rama kekasih, berikan padaku
   kijang kencana bukti cintamu padaku".
Sebagai lelaki Rama tertantang keangkuhannya
melesatlah ia dengan meninggalkan waspada
O, wanita senantiasa penuh prahara terbangkit dari mimpinya
desir cemara menggoyahkan langkah Rama lantas di angkatnya
Lesmana dari dalam rimba memahatkan syair bagi Kakanda
mengantarkan kepergiannya memburu kijang kencana
sumber prahara.

Kijang kencana dengan kegesitannya, mengaburkan langkah Rama
hingga ia kian jauh mengikut angin kembara
Shita Sang Putri penuh hasrat membara terbangkit kecemasannya
saat mentari kian memanjat pucuk-pucuk cemara
diutusnya Lesmana mencari jejak Sang Rama yang kian kabur
dalam kegelapan rimba
kebimbangan meraja di hati Lesmana, lantas perang
kepatuhannya pada Shita Sang Putri mengajaknya pergi mencari
ketaatannya pada Rama Kakanda menyuruhnya untuk menanti
di puncak pertempuran iapun diam
sambil meggores-goreskan jarinya ke bumi, terbakarlah
keangkuhan Shita
sebuah Gita menggeletar di cakrawala
" Wahai Lesmana adikku,
   barangkali ada suara di balik getar kata-katamu
   dengan kepergian Rama Kakanda mengejar buruannya, Engkau
   melantunkan tembang di taman dewasamu dengan tatapan
   melekat di kainku
   adakah sesuatu yang memberatkanmu hingga kau
   tak beranjak dari tempatmu ?
   Sementara Rama Kakanda memeras rimba memburu kijang kencana
   Engkau mengipas-kipaskan angin pagi menyulam mimpi
   bagi hari-hari bakal lewat bersamaku
   itukah persembahan baktimu, hai Lesmana ?"

Awan merah mengeliat di angkasa, tengadah
diteriakkannya bait-bait mantra pengukuhan baktinya
"  Lihatlah Shita Ayunda,
   Ku angkat syair perjalananku selanjutnya
   Lesmana bakal melangkah sendirian
   mengarungi samudra kehidupan
   Lesmana akan sendirian dan akan terus sendirian
   tanpa rusuk kanan dalam genggaman
   demi baktiku pada Rama Kakanda dan Shita Ayunda
   yang telah dibutakan kesadarannya
   dengar hai langit, dengar
   barangkali nyanyian ini mampu membangkitkan kenyenyakan
   Shita Ayunda dari keangkuhannya
   bangkitlah wahai,
   Lesmana masih awas pandang matanya dalam rimba
   gelap dan menyesatkan
   aku masih mampu tegak dari hempasan nyanyi surga,
   jangan cemaskan kepatuhanku pada Rama Kakanda
   Aku turutkan perintahmu Ayunda Shita
   sebagai bukti kekosongan jiwaku dari mimpi surga bersamamu".

Lantas dicabutnya pedang menggurat rajah
Kalacakra tergambar di punggung tangannya
Lesmana Adinda terluka
       darah mengucur dari lambungnya
dibentangkannya kaki menebas belantara mencari Kakanda
dari mulutnya keluar mantra-mantra mengaliri malam jelaga.

Dalam rimba Shita Sang Putri merajut kecemasannya
tetes-tetes darah yang tercecer dari lambung Lesmana
menjelma sendang yang beriak di dalamnya
kebeningan airnya memantulkan kemasgulan wajah Shita
"  Aku tlah keliru mengurai makna" gumamnya
"  Kekagumanku pada anugrah Dewata memburamkan kilau belatiku
   hingga ketajamannya mengoyak lambung Lesman, O Dewata
   anugrahmu tlah membuahkan luka".
tetes-tetes air keluar dari pandangnya membentuk genangan mutiara
seorang Brahmana, muncul dengan kembang setangkai di tangan
" Wahai Shita Sang Putri, hapus air mata dan lihatlah
  keceriaan di tanganku adalah bunga-bunga
  setangkai di putik tergambar kereta kencana
  yang bakal mengantarkanmu menuju kerajaan Dewa".

Shita yang wanita, tergoda wangi cempaka
keharuman menggelitik tangannya meraih bunga
kilat menyambar Shita, terlemparlah ia dari lingkaran Cakra
jeritnya tertinggal di awang-awang
menjelma nyanyian malam.

Asmara Shita menggelepar di cakrawala
suara angin yang melenakan tlah mengkoyak bahtera mimpinya
hingga yang terjelma kemudian adalah tangis berkepanjangan
membumbung bersama api yang membara dari dalam dada.

januari - agustus, 1988

Rabu, 09 Desember 2009

TEPIAN

Kamar, dimana pintu-pintunya tertutup rapat
aku terbaring diam memeluk awan yang menggumpal
dalam dada
disini, kenangan begitu deras mengalir dalam darahku
bagai gemuruh ombak membentur karang tegar di tepian
keyakinan pernah kami pahatkan pada dinding bisu
ketika angin mendedas pertahanan kamipun runtuh
menerbangkan angan kami melewati batas negeri
dimana pantai-pantai menghempaskan kami
dalam kedamaian tiada tepi
sebuah kebersamaan telah kami arungi disini
hingga kami merasa tak terpisahkan menapaki waktu.

Kini aku sendiri menyisir pantai melabuhkan sepi
segalanya telah berakhir disini
tinggal kenangan dan kerinduan terukir di pasir
tepian.

parangtritis jelang ultah, 1988

TUNGKU API

Kabut yang mengendap dari waktu
menjelma bayang tak ku tahu
sejak kapan menghuni ruangku
bagai tanaman ia tumbuh
merambati nadiku menetes
embun
pagi sekali
bahkan terlampau pagi untuk berteka-teki
siapa menjelma dalam hati
kala sepiku merindukan tungku api.

juni 4, 1988

FRAGMENT (seusai pertemuan)

Aku berdiri di atas panggung menonton
wanita yang aku cintai berdialog tentang diriku
di belakangnya, seorang wanita dengan menara gadingnya
ponggah menggapai-gapaikan tangannya ke angkasa
sungguh,
ini sebuah pertunjukan yang barangkali
mampu menina-bobokkan diriku ke dalam mimpi
dengan belati mencuat di punggungku.

Aku tidak beranjak dari tempatku berdiri
di atas panggung yang menawarkan berjuta fantasi
segalanya memang bisa terjadi dan mungkin, sebenarnyalah
aku rindukan sebuah tikaman langsung menghunjam ulu hati
tapi tidak di atas panggung seperti ini
aku tak ingin membela diri betapapun pedihnya
darah membasahi tubuh sendiri.

Akupun terus berdiri menanti pertunjukan usai dan pemain
kembali memerankan dirinya dengan sarang laba-laba
membentang di belakangnya
akupun menggelar layar baru bagi sebuah babak yang
belum terselesaikan
inilah panggung sebenarnya bagi kita
membuka-buka sejarah lama hingga terdampar dalam bejana
menelanjangi kita
kenapa kita merasa asing dengan diri kita sementara
kita mampu berperan sebagai orang lain sedemikian baiknya
kenapa kita harus menina-bobokkan di singasana
sambil diam-diam memasang jerat di lehernya ?.

Ach adikku
janganlah terikat oleh cerita yang pernah kita buat
ketika masa remaja kita belumlah bulat
tinggalkan panggung ini dan berbuatlah sesuatu
barangkali ada sebuah negeri yang mampu mendamaikan
meneduhkan dari badai terik matahari
sementara biarlah aku tetap disini merenda keyakinan
yang kian lama kian tebal menyelimuti hari-hariku.

Aku masih terus berdiri, walau pertunjukan tlah lama berhenti
di depan cermin diri terasa begitu nikmat
sambil menikam-nikamkan belati ke jantung sendiri
ku persembahkan kepadamu
secarik kertas yang koyak-moyak bertuliskan darah
mengucur dari lambung kristus
barangkali ini jalan terbaik untuk mengakhiri perjalananku
begitu bukan adikku ?

Subuh, jelang 15 juli 1988

W A J A H

Ku rengkuh kedamaian bukan kerna apa
melainkan sebagai sarana persembahanku pada yang kuasa
yang mampu menggelorakan tanganku hingga tercipta
                                  wajah surga
yang mampu menghentikan gerak bumi hingga tercipta
                                diam temaram
    yang mampu menjaring angin hingga terjelma
                               puncak hening
                                     disana
           tubuhku lemah terkurung kaca-kaca
                   tanpa pintu di dindingnya
                              aku mengaca
                                duh Tuhan
                  ini jiwa dahaga senantiasa
         ku luruhkan sujudku tak menemu apa
      ku tuntaskan firmanmu tak sebatas mega
hanya fatamorgana menggantung di pelupuk mata
          ku rengkuh sejangkauan tak sampai
                    luput darai tangkapan
                   kian jauh di atas awan
         menerbangkan jiwaku yang rawan
                          dari sentuhan
                            tanganMu
                           yha Tuhan
                             ulurkan
                                 .

agustus 5, 1988

MATA

Nanar mataku
mengaburkan lafal mantra
menjelma banyak jalan
tak ku tahu mana kan sampai tujuan
terdekat dengan langkahku
tlah lelah ku mencari        
     tlah lelah             
           ku berlari
                   tlah lelah
                           bersimpuh di kaki
                                   duh Gusti
haruskah ku berhenti sebelum ku temu                
ataukah terus mencari sampai akhir perjalananku
kebimbangan ini kian memberati lanhkah         
sementara yang ku cari                                       
terus berputar                                                      
melingkar                                           
dalam benakku.                 

agustus 6, 1988

BUAH

Bakti karma dan kesetiaan terasa begitu samar dalam tatapan
serangkaian persembahan hidup yang berputaran kait mengkait
tanpa satu kepastian.
Sebuah upacara, serangkaian sesaji tanpa hati adalah
kesia-siaan yang terpelihara di dalamnya termuat
beban tak terhindarkan,
Oleh nasib kita dibedakan dalam tingkatan
oleh kewajiban kita dibedakan dalam kesadaran
hingga bakti itu tetap berujud bakti tanpa makna
sangsi dibelakangnya adalah karma buah dari
ketidak-setiaan kita pada nurani.
Hidup perlu keberanian
keberanian bersikap, bertindak dan memutuskan permasalahan
mengolah hidup adalah mewujudkan impian menjadi kenyataan
dan kenyataan haruslah dihadapi dengan mata terbuka dan dada
bukan lewat kata atau nada
tapi ia bersuara membawa gema
betapapun lirihnya ia.
Bakti dipermukaan adalah pembunuhan secara perlahan
karma datang dari diri kita untuk diri kita
sedang kesetiaan adalah tanggung-jawab yang dipertahankan.

desember 11, 1985

CAGAR ALAM

Jakarta bukanlah tempat memanja adikku,
melainkan pikir
dan pikir senantiasa menyentuh permukaan sedangkan rasa
ada di kedalaman
laut senantiasa berombak beriak di permukaan
tenang diam di kedalaman abadi senantiasa
walau badai mengguncang
dan akulah penghuni kedalaman yang setia
merengkaki relung karang jengkal bebatuan
dasar samudra
tak setiap orang berani memasukinya.

Jakarta adikku,
airnya begitu beriak menampar-nampar wajahku
alam pikir penuh akal menyelimuti waktu
yang tiap detaknya saling memburu
aku ingin tegak dalam diamku
tiap bidikan senantiasa mencari kelengahan
dan rambutku yang panjang menggeriap
di hembus badai segala penjuru.

Jakarta adikku,
adalah cagar alam bagi satwa
aku ada disana tapi tak bisa
masuk kedalamnya.

desember 7, 1985

Jumat, 04 Desember 2009

LAUT

Aku yang gelisah menggapai dalam kediaman
adalah kerinduanku pada langit yang membentang
menaungi cintaku yang jauh terbenam dalam
fatamorgana.

Pelangi senja bagai kabut mimpi mempertemukan
angan-angan yang di rajut kelam
barangkali benar, sebuah penantian akan berakhir
dan pertemuan bagai cakrawala yang tertangkap mata
akankah cintaku bakal sia-sia.

Ombak terus bergerak mengejar bayangnya
mencumbu langit yang terpantul di kedalaman diamnya
barangkali aku,
menunggu langit runtuh kedalam pelukan samudra
tanpa aku merasa sia-sia betapapun langit
kian jauh di angkasa.

parangtritis, jelang ultah '88

LANGKAH

"  Aku kawulo lelananging nDonya
   munggah samudra mbukak lawang kencono
   ngudi kanugrahaning jawata mlebu kraton
   Giri Kumolo
   ambedah swarganing Dewi Pertimah
   lepasing panah tumiba ing lemah
   saka lemah anggegaru sawah
   Rohku manjing sajroning Rah
   Rah - Rah - Rah
   samudra kawah sukmaku tinadah
   jabang bayiku dumadi
   jabang bayiku cinandi
   dadi dadi saka kersaning Gusti Allah"

Dalam kelelapan suara mantra yang bening
tangan-tangan kecil menyeretku kedalam suasana asing
sambil meniupkan nafasnya ke wajahku
" Wahai lelaki perkasa yang mampu menjinakkan
  badai dan prahara, akulah buah keperkasaanmu
  muncul dari buih ciptaanmu saat pelangi turun
  dari ufuk senja menghirup nafas surga
  ku dambakan sebuah pelukan dari tanganmu yang dulu
  ku kenal begitu kokoh menghempas-hempas
  karang batuan"

Ach, ternyata aku belum siap menjadi lelaki yang mampu
mengkais-kais pasir mencari jingking dan sisa kerang
pupuk bagi tanamanku yang terlanjur tumbuh dari
Rahim Maria
Bunda perawan dimana cintaku tersimpan.

Dan ternyata aku belumlah lelaki
yang mampu memadamkan prahara
yang senantiasa menggelora membuncahkan pandang
kesadaranku.

Kesadaran pada hidup dan riak keseharian
membuatku terus bertanya tentang susuh angin
jantung ngaurip
          dimana letak ?
di pusat prahara ataukah atau dalam goa hening sapa
dimana segala kehangatan dan kesejukan berpusat
dimana segala tumbuhan runduk di hadapanNya
barangkali yha.

Dalam pengembaraanku yang berbekal hasrat sesekali
tersuruk mengikuti suara Durna yang aku kira
Guru Sejati
atau barangkali aku harus mengikut langkah Bhima serta tekad
tak sekeras baja langkahku senantiasa
mengikut suara gaib penuh pesona memanggil.

Akupun berendam dalam sendang sambil mendengarkan
nafas surga yang muncul dari mata airnya
sendang yang senantiasa membuatku dahaga
senantiasa membuatku ingin kembali
ke pangkuanNya.

Barangkali disini jiwa Maria bersemayan
tempat dimana rasa gaibku tersatukan lantas bersama-sama
menuju pangkuanNya
atau barangkali ini sebuah kurban bagi perjalananku
yang panjang dan melelahkan kerna kebosananku pada
langkah itu sendiri.

Senin, 19 Oktober 2009

H U J A N

Angin sejuk menerpa wajah, aku biarkan semuanya basah
hati dan kenanganku. gemuruh hujan di luar menghantam
dadaku, sesosok bayang melintas bias
pelangi mempermainkan mataku yang
kian waktu kian kabur mendekati kubur
begitu samarnya hingga nampak jelas diantara cadar
menepis-nepiskan masa lalu yang tiba-tiba kembali membayang
surga yang hilang ?,
bukan, bukan, surga yang bakal datang melabuhkan perahu
yang sarat hasrat hingga kompas kehilangan kiblat.
bumi terus berputar dalam diam ,merambati waktu
terasa sia-sia hidup tanpa berbuat sesuatu.

desember 6, 1985

Kamis, 15 Oktober 2009

KIDUNG WAYAH WENGI antologi puisi II


NYANYIAN OMBAK

Masih ku dengar desahnya yang membara
laut kidul menggelora buih
memerak di bibir-bibir pantai menyuruki sepi
yang hampir mengatupkan matanya
O, cinta
dahaga tinggal selembar benang yang merajut kenang
pada masa-masa yang telah silam ditelan waktu
debur ombak laut kidul mendendang rindu.

1984
KETIKA KU MASUKI BERANDA RUMAHMU
( ngadisuryan IV/135 )

Maka ku labuhkan kapal kenanganku
setelah sekian lama hidup mendamba
biduk menghilirkan kata
menghilirkan nafasku memasuki rusukmu.

Lantas ku wartakan kepadamu sebuah cerita
tentang laut yang tertidur di kakimu
nafasnya gelisah, gagal istirah
kemesraan yang luput dari jamah.

( lagumu yang purba mengarungi samudra
    hingga tanganku tak kuasa meraihmu
    melabuhkan kata dalam satu dermaga )

Maka ketika pagi mengurai sinarnya
ku layarkan perahu isyarat ke jantungmu
lewat angin yang bertiup disela rambutmu
kutuliskan rindu. Dengarkanlah.

1984
TLAH TERGETAR TIRAI

Ku tangkap surga di matamu
pada bulan ke tujuh langkah
terhenti membelai
     dingin angin gunung
         panas angin gurun
               keheningan malam
kelaparan dalam penantian bergumul
dalam kabut.

Datanglah wahai,
yang pernah hinggap lalu lenyap
dalam gelisahku
( embun menetes menyentuh tirai
                 gemetar
        Ruh lama tersimpan )
bayang-bayang menggigil di altar
kudus kata
jawaban resia lamat-lamat terdengar
di kakikaki telanjang.

Ku tangkap surga di matamu
pada bulan ke tujuh langkah
terhenti membelai.

1985
DI SUDUT MATAMU ADA EMBUN

Di sudut matamu ada embun menusuk kata
berkabar tentang rindu yang tertahan
oleh gelisah waktu
di ujung rambutmu.

Ternyata aku tak cukup sabar menahan sepi
merentang busur di pintu bidik jantungmu
gemetar menyembunyikan detaknya.

Pada akhirnya kutuliskan angin di daunan
kerna kata tanggal dari tangkainya gelap
rimba tak mampu mengurai makna
( engkau senantiasa terjaga dari nafsu
  dan prasangka ).

1985
KIDUNG SAJRONING WENGI

I

Wahai kekasih, tanggalkan jejakmu
dalam kesuraman senja kuletakkan lilin
di atas meja antik. Cantik
serangkaian melati disisi bayang-bayang
tirai tersingkap, di luar
gelap.
: Tak ada tanda-tanda kau akan hadir
  menjamu luka

Wahai kekasih, tengoklah kedalam
sepi
menyambut malam.
: gerimis mulai turun di pekarangan.


II
Kemarin teras dan beranda sepi
kau tawarkan mimpi lewat jendela
terbuka
    (  suara-suara di kegelapan
       cakrawala kehidupan di kegelapan
       angin dingin di kegelapan
       lewat menyapa )
Duka, masa remaja
tawarkan padaku cerita
buah pohon di pekarangan
    : Ku petik satu buah pohonmu ku tawarkan
      buah pohonku kepadamu lalu
      dengan sembunyi-sembunyi kita
      mencicipinya.
    ( suara-suara ombak di kejauhan
      suara angin mampir di wuwungan
      suara malam membawa keheningan
      membisik
                  membelai
                                lalu meredakannya )
Kesegaranpun menyemaraki pertemuan, kita
ingin mengulangnya.

1984
PRAMBANAN
( dalam kusam peradaban )

Pada batu
tuding angkasa
matahari merah di barat cakrawala
dekat penghabisan
menancapkan makna
pada dinding
pada stupa
keseharian adalah upacara-upacara.

Tlah dekat keabadian
pohon hayat
dunia bawah
atas
tersatukan.

Paramatma
tinggalkan usia.

1984
BOROBUDUR
( purna pugar sebuah peninggalan )

Barangkali engkau hanya membuat isyarat
lantas kau tanam melati di perbukitan
kelopaknya anggun, bertahta lentera
( menciptakan nirwana di putiknya
  menyedu madu di pusat kalbu )
lantas hiduppun menjelma cerita, dinding stupa
         - Sang Budha berpradaksina  -
( Lumbini taman kembang, mengenal arti
  keramatMu tak pernah asat ).

Barangkali engkau mulai mengurai isyarat
lantas kau masuki trisula delapan kiblat
( nyala dimar di kegelapan adalah nyalaMu
  nyala yang senantiasa tumbuh dalam pasrah )
O, jagad
ternyata hidup sekedar kembali ke hakikat
mengembalikan dunia ke alam Rahsa. Dana warih
                Sang Budha berpradaksina   
           - jubahnya bunga tujuh samudra -
tumbuh teratai di lautmu, tumbuh urna di keningmu
telingamu, O
betapa dalam arti kurban
( di matamu mengerdip bintang, di mulutmu bau kembang )
: di puncak doa purba memasuki sumber suara.

1984
MASUKLAH, DINGIN DI LUAR

Lihatlah,
nadiku mengerdip perlahan menyapamu
sejuta malam sejuta siang, engkau
senantiasa muncul melintas waktu
kesunyianku.

Sapalah,
pada injakan pertama bumiku bergetar
seperti melawat seorang sahabat yang hilang
dalam perjalanan panjang menuju
peristirahatan.

Masuklah,
tlah kubuka pintu sebelum kau sempat mengetuk
kepastian.

Minumlah,
ini darah perjanjian yang lama
hasil tanaman kita
segar
tersentuh sapa.

Makanlah,
ini roti sisa perjamuan kemarin
kamar pengakuan kudus
oleh kata.

Masuklah,
dingin di luara
: Pagi mengusap wajahnya.

1985
BARANGKALI KITA TERLAMPAU PAGI
MENABIKKAN SALAM


Oleh keterasingan kita dipisahkan, dua bukit
mengisyaratkan suara asing lewat angin kegelapan
hati kita membara oleh gelora
ataukah badai yang membisik ketika senja
melarutkan nafasnya.
Ach,
betapa samar makna yang tersalib di jemari
tirai angan berkabut awan.

Ataukah kita terlampau pagi menabikkan salam
hingga yang terdengar oleh kita adalah sangkakala
mengisyaratkan peperangan dalam perjalanan
atau barangkali kita keliru mengurai makna
hingga yang terjelma di hati kita adalah prasangka
mewarnai tiap perjumpaan
( kita menyangka gerimis yang bakal membasahi hari
  ketika pagi meneteskan embun di dedaunan )

Atau sebaiknya kita tak saling berkirim isyarat
sebelum kata berubah jadi sabda menjerat kita
dalam sangsi tak tersapa
atau sebaiknya kita saling menolak keyakinan yang berucap
lantas kita saling menjaga kegelisahan
membebaskan warna dari fungsi dan makna.

Barangkali kita terlampau pagi menabikkan salam
hingga hari kita terlampau cepat menjadi malam.




1984

DENGAN MATA REDUP KITA MENGUCAP
SELAMAT TINGGAL


Dengan mata redup kita mengucap selamat tinggal
embun mulai turun,  basah - tertahan di daunan
amboi - betapa cantiknya bunga mengurai kelopaknya
mengurai kediamanmu yang selama ini terjaga
dasar samudra menyimpan resia.

Ach, seandainya ku tahu dari mula
ku hembuskan nafasku menggemerlap mimpi
memetik sekuntum bintang dari nyanyi matahari
membidikkan jantung ke pusat hati
pusat segala hidup dan mati. Betapa sepi.

Ketika mata hampir terpejam, ku genggam tanganmu
dalam kebersamaan mengarungi malam gelombang tubuhmu
mengoyak sepi mengoyak kegelapan mimpi
( dan purnama tampil di wajahmu ketika tanganku
  menusuk pusat rahimmu )

Ach, seandainya ku tahu dari dulu
betapa ramah tubuhmu mengendapkan kantuk dahagaku
menghembuskan kemesraan di kuduk malam
( saat itu terasa betapa nikmatnya pamitan
  dengan membawa sisa kegelisahan ).


1985
KERETA SENJA, SAAT GERIMIS
MEMBASAHI RAMBUTMU


Entah yang keberapa perasaan seperti ini terulang
kereta yang bakal mengantarkanmu pulang ke bumi
tanah dimana engkau tumbuh dan dibesarkan.

Ku pandangi rel-rel yang berjajar berdampingan
mengulang ceritaku yang panjang. Cerita kita
dimana kita pernah saling mendamba membagi duka
membagi kemesraan sepanjang perjalanan
tapi kita senantiasa tak pernah tersatukan
walau tak terpisahkan.

Keretamu berangkat dik Ika, menyeret keharuanku
peluitnya yang panjang menyayat sepi. Duh.


1983

JALAN SALIB

PERSIAPAN
( getsemani )

Ternyata engkau masih juga sangsi dengan kesetiaanku
tentang derita yang bakal menimpa kita, atau
mungkin engkau sekedar meyakinkan dirimu agar darah
di lambungmu sampai juga ke tubuhku kurus berkeringat
salib di pundak.
Kini kita saling berhadapan, saling bertatapan
dengan paku menancap di tangan.


PERHENTIAN PERTAMA
( pilatus )

Engkau memanggul beban dombadomba, bebanku juga
bukan kerna gelisahku engkau menanggungkan sengsara
bukan kerna kedurhakaanku yang memenjarakan cinta
aku hanyalah sarana
yang bakal menggenapkan janji tentang Sabda
tentang Taurat dan mulut Nabi
aku hanyalah utusan
yang bakal membuktikan keberadaan manusia senyawa
Allah Putra
jangan sesali waktu yang bakal merenggutmu, keluhmu
noda bagi pengabdianmu.
Menggenapkan janji, biarkan semuanya terjadi.


PERHENTIAN KE DUA
( salib membentang di golgota )

Betapa berat menjadi pelayan bagi diri dan orang lain
bagai kau layani aku dengan tangan bentang lautan
lantaran kasihmu membuahkan gelisah, engkau
ku tanam di bukit sepi agar kematianmu
membuahkan kasih di hatiku.


PERHENTIAN KE TIGA
( salib tanggal di kaki )

Ada palagan di hatiku, koyak-moyak
salibsalib tanggal di kaki
kurus tiada berakar
kemanusiaanmu
menumbuhkan luka di lambungmu.


PERHENTIAN KE EMPAT
( bunda penawar luka )

Bagaimanapun juga kehadiranmu penawar luka
rasa trenyuh menghilirkan dahaga, Airmata
tersaput wajah Bunda
Bagaimanapun juga aku buah kasihnya
yang dikandung dalam cinta dan derita
dipisahkan  dalam cinta dan derita
ketika kau jumpai aku dalam derita di atas salib
engkau gagal menyembunyikan cerita
di atas tubuhmu kau tegakkan salib menyangga
tubuhku luka
: Bagaimanapun juga kita buah dan tanaman.


PERHENTIAN KE LIMA
( simon dan sirena )

Ku jabat tanganmu berdarah di penyaliban
di lambungmu luka tak ku temukan denyut Tuhan
kerna tangan kita samasama terpaku jadilah kita
kutu bagi gelisah orang-orang.


PERHENTIAN KE ENAM
( veronika )

Kerna cinta adalah kasih belas tak butuh balas
maka ku cium darah di lukamu
    ku cabut duri di kepalamu menetes
    darah di lambung mulutku
: Pucat oleh nafsu.


PERHENTIAN KE TUJUH
( engkau jatuh kali yang kedua )

Sebagai dua orang sahabat kita saling menjaga
berjalan bergandengan sambil berbincang gurau
tawa membuat kita lupa lantas luka
: Engkau jatuh untuk kali yang kedua


PERHENTIAN KE DELAPAN
( tangis perempuan di pinggir jalan )

Jangan lanjutkan tangan kau ulurkan kerna tangis hanyalah
persinggahan sejenak bagi duka
kemanjaan mengalir tak kuasa membendung luka, biarkan
tangis mengalir memenuhi jalanan
menghilirkan penyesalan ke pelabuhan.


PERHENTIAN KE SEMBILAN
( jatuh kali yang ke tiga )

Ketidakpuasan mengantarkanku pergi ngembara
memasuki jalan-jalan asing dalam darah
ku mengurai makna
sumber suara.


PERHENTIAN KE SEPULUH
( berdiri telanjang )

Ku cinta orang lain bagai cintaku padamu juga diriku
ku hormati orang lain bagai hormatku padamu padaku juga
ku serahkan tubuhku luka dan berdarah kepadamu.
Terimalah.


PERHENTIAN KE SEBELAS
( salib )

Ku wakili tangan orang lain lewat tanganku memakumu
kerna kepergianmu menumbuhkan kesadaran baru bagiku
betapa aku membutuhkan dirimu untuk menuntunku.


PERHENTIAN KE DUA BELAS
( kematian di kayu salib )

Ketika ku masukkan tombak ke lambungmu putih
orang-arang berebut menadahkan tangan di salibmu
mengapa menangis (?) melarutkan kesedihan
kepergianmu memenuhi panggilan Bapa di surga
kematianmu adalah kebangkitan hati kami
kebangkitan tangan yang membutuhkan uluran.


PERHENTIAN KE TIGA BELAS
( kesaksian )

Engkau kembali menjelma dalam sabda
terdengar di tiap hati manusia.



PERHENTIAN KE EMPAT BELAS

Dalam tidur yang jaga bisikmu senantiasa
    " Di hatimu aku menjelma "


PENUTUP
( hikmah )

Engkau menempuh jalan sengsara mewujudkan cinta
kasih senantiasa diikuti pengorbanan tubuhmu
terpaku di penyaliban
Engkau mengalahkan tubuhmu untuk menangkan sabdaNya
kematianmu awal kehidupan kesadaran kami
pengorbananmu menumbuhkan keberanian bagi kami.

1986

SAAT (gerimis)

Telanjanglah sepi saat gerimis
tertidur dalam kamar
melelapkan kesadaran yang lama kubangun dalam mimpi
mimpi malamMu.

Menetes Ruh
menggetarkan rahim sanubari yang sarat
membebaskan beban dari jarak. Pintu
asal Adam menggauli rusuknya.

Rasa tak tersapa
menderaikan air mata yang tak jua lunas
oleh ungkapan kata
yang ku temu pada lonceng gereja ketika senja
memukul keheningan.

Gerimis turun
membasahi sanubari kehidupan yang selalu salah
menerka arah langkah.

november 1982
TIDUR

" dalam tidur, ku dengar
  kucing menggeram
  mengendapkan birahi yang
  muncul dalam keheningan
  sepi
  ."

1986
PERSETUBUHAN

Sementara aku pergi menyusur sepi
kubiarkan pelataran ditumbuhi melati
bagi jalan Sang Kodrat, hidup adalah persetubuhan
menyatukan Dzat Kawulo dan Dzat Gusti
yang senantiasa ingin bermesraan.

Ku masuki lembab rahimMu
gelap dan gaib
mengayun sukmaku diatas megemega
diatas piano tubuhMu, nyanyi gereja
meremang kudukku mendaki puncakNya.

Bintikbintik keringat butirbutir nikmat
mengalir dari seluruh rahmat
dalam rahim purbaMu
tak tersapa.

1986
VENI DOMINE JESU

Wahai merpati kecil yang melintas kepalaku
saat Yohanes mempermandikan kepakMU
lirih berbisik di telinga
" Inilah Putraku, yanh lahir dari rahim Roh Kudus
  darahnya lautan lidahnya anggur setaman
  terimalah ia sebagai cahya yang bakal menerangi
  hati manusia"


Yha, yha, bagikan pada kami terang hingga tumbuh cinta
kasih yang memancar lewat tanganku kecil, lantas
ku sembuhkan orang sakit kubuka mata buta kubagi
roti bagi yang lapar kudamaikan perang dan
kubangkitkan yang mati lantas kutunjukkan jalan
menghadapMu
sebagai gembala kuselamatkan dombadomba dari duri
serigala
dari jerit dan keluhsesal.

Wahai,
datanglah terang bagi hati hingga tumbuh waktu
tumbuh kesadaranku.


1986
SAMUDRA

Dia yang bertelinga samudra hingga hilang tepi
Aku menampakNya
memasuki dunia yang gaib dimana langit dan samudra
bertaut dalam diri menjelmakan nuansa
            wangwung
hanyut dalam deras sungai memasuki darah
keheningan
    maha luas
        kehenengan
            maha lepas
maka lepaslah segala keinginan
    segala penderitaan
        - Aku hilang -

Segalanya nampak samar
tak punya apa tak merasa apa
: di Samudra.
MELAWAT SEPI

Ketika aku bersimpuh mencium kakiMu
memanggilMu dengan sejuta Dzikir
sepanjang hari memenuhi bumi, Engkau
tak juga hadir menemuiku.

Dalam Khusuk sujudku yang pasrah
menghitung waktu yang senantiasa bertambah
menekuni namaMu merenungi kuasaMu. Purba

Ketika anggur membasahi keningku
ketika tersentuh altar kudusMu
betapa asing bau tubuhMu terdengar
dalam sanubari yang rawan.

Lantas ku bakar segenggam kemenyan dengan nasi
tujuh warna bunga tujuh sumber air
mengaliri kehidupan
lewat sebait mantra kekidungan yang nglangut
menyebrangi samudra wening tak tersapa.

Reguk, reguklah darah yang habis gairah
menyinggahi setiap batu setiap nisan mantra
sabda
hanya gelisah dan resah yang ku temu dalam singgah.

Dentang itu kembali berulang
saat aku tak ingin apa tak punya apa
menggemakan keasingan yang tak ku temu
dalam mencari.

DOA

Seberapa jauh aku harus nyebrang
samudra cahya yang tumbuh mata
dalam tafakur doa
pada setiap anggauta.

Berapa kali harus ku eja nama purba
dalam luruh sujudku mengawali doa
sebelum aku sampai kesana
pada saatnya.

Ketika ku ulang
aku ingin berpulang.
LAKU

ati kang menep
sumeleh ing samubarang
sumarambah ing laku
kang kapisan
kapindone
karep
niyat kang luhur dumadi
saka abdi-daleme Gusti
kang amung sawiji
kaping telune
niyat madep
lumaku ing marganing Gusti
anteping ati
niyat ing kiblat
sira bakal tumeka
pusering jagad pusering Dzat
kang anglimput jasad
iku kang kaping pat
kalimane pasrah
jiwa lan raga lumeburna
sajroning wahananing Gusti
amurbeng gesang
pasrah bali
pasrah anglampahi
gesang kang langgeng
pangkoning Gusti
.
BERPULANG

Jangan sambut kepulanganku dengan tangis
kerna tangis mahkota duri
menghadang cinta Kristus lewat tangannya
kerna tangis sayatan hati
menggores kening Kristus membekas luka
mengucur darah
    memberati langkah
        tersenyumlah
bagai Bunda Maria
buah anggur direguk hati dahaga
lapangkanlah jalan bagi anak domba
pulang ke gembala.

1986
PERCAKAPAN

Ada lintas keengganan di ruang tamu, sambil menyantap duka
di balik terali. Demi perlambang, kau selesaikan sebait
melati di halaman
( pintu duka mengurung, matamu basah kabut )
" Betapa berat menyandang hidup dalam kehidupan" ucapmu
" pasrahlah, kita sekedar titah" sahutku sambil menganyam angan
" jangan sesalkan Adam memakan rusuknya, sesalkan diri kita
  yang mengeluh menerima nikmatnya"


Terdiam engkau menatap cakrawala merah, senja lembut
menidurkan mentari nakal dalam pelukan jagad.

Tertegun engkau memasuki pintu berdinding kaca perlambang
kehadiran Adam baru.
" kita hanyalah seonggok daging yang dipadati nafsu dan
  merah diwarnai darah, berkacalah"
" kita selalu luput dari pertimbangan"
gumammu pelan.

Tertunduk engkau mengusap keharuan, sehabis bermandi sepi
di alam sunya.
" disini bumi lahir berakhir, pertama Adam menyantap
  rusuknya dibawah anggerangger menyembunyikan gelisah"
" yang kita kenyam hanyalah sisa Adam hari kemarin kita,
  yang bakal kita selesaikan di sisa usia"


Tersedu engkau bersimpuh di kaki Ruh
kaki keheningan.
SUARA

Barangkali surat yang jatuh di pangkuan tidak berkabar apa
bagai jatuhnya puisi tidak untuk siapa, kehadirannya
hanyalah kilat pisau menyimpan tajam di ujungnya.

Penantian hanyalah kesia-siaan yang datang dari sebrang
tak menjanjikan sesuatu tak memberikan sesuatu kenyataan
terlahir dari laku diri mencari jalan.

Penyeberangan adalah awal pergulatan melawan kodrat
dari mula mencari hingga menemu tatanan dogma bagai
jatuhnya sinar bulan membawa terang jalanan.

Hidup bukanlah sekedar menjalani kodrat dan menunggu
kepastian harus didapatkan sebelum tujuan sampai
kerna waktu tak bakal berulang menjemput yang tlah hilang.

Barangkali surat tak berkabar apa melainkan siratnya
bagai sebuah patung yang tegak sebagai perantara
menyeberangi jalan-jalan yang tak nampak dalam ukirannya.

Barangkali puisi hadir tidak untuk siapa tapi getarnya
melantunkan kebeningan mata air yang menyimpan sumbernya.

Barangkali aku tak menuliskan apa kerna keterbatasan kata
yang terlihat bukan wujud sesungguhnya dari getar
sebuah suara.

1986
SANG AJI

(   kakang kawah adi ari-ari reksaning awak
    teka tak celuk tak jaluk gawemu
    undangen jabang bayine danyang sumbi
    teka turu teka tangi teka ngadeg teka mara
    teka welas teka asih
    asih-asih saka kersaning Gusti Allah )


Ini malam hanggoro kasih saat dewa
menebarkan jala asmara
bagi kerinduan kasih tak terbalaskan
ku lepaskan padamu sebait anak mantra saat diri
tertidur dalam angan saat dingin
mencapai keheningan
masuklah !
segala benih kedalam ruh kedalam darah
mewarnai kehidupan.

Ini malam burung pedasih nembang
menyuarakan sepi nglangut kekidungan ati
melenakan kesadaran dalam bayangbayang asmara
melenakan penalaranku kedalam kekuatan di luar diri.

(   kakang kawah adi ari-ari sedulurku sejati
    kang lair bareng awak kang sumadyo mBiyantu awak
    kang setya marang awak
    tunggal karep tunggal sedya tak jaluk gawemu
    nglepas jemparing kamajaya
    papat niatku limo sedyaku wolu jejantraku
    tumekakno jemparing ing  pangkoning kama ratih)


Dalam tidur yang jaga bayangbayang kakekku
warna merah di wajah hitam pori darah
diminumkannya seguci mantra ke mulut kecilku
anak lanang kang neruske trah Rangga Rahina
Aku tak tahu makna tak pandai membedakan rasa
ku telan kebanggaan seorang cucu menyandang
kejayaan moyangnya
namun aku lupa menidurkanmu di peluk anak mantra.

Wahai, wahai
bangkitlah kesadaran di tiap langkah
bagi anak gadisku yang bakal lahir dari rahim Maria
demi Bapaku yang bertahta di surga
demi calon istriku - Bunda Maria
ibu terpilih dari yang terkasih
ku serahkan diriku
altar kudus
        secangkir darah
                   sepotong daging Kristus
                              ku masukkan ke rahimmu
                                        Roh Kudus
                                 pusat segala hidup
tak ada lagi yang memberati langkah
ku pertaruhkan kebangganku ku pertaruhkan
keinginanku ku pertaruhkan segala kekuatan
yang melekat
ku tanggalkan segala milikku
di pintu kesadaran.

Kita kawin,
tak perlu saling memiliki
sepakat mengawinkan hati dan pribadi di hadapan
Dzat tertinggi
Roh suci.

:   Salam Maria, penuh rahmat Tuhan sertamu
    terpujilah Engkau diantara wanita dan terpujilah
    buah tubuhmu, Yesus
 

:   Santa Maria, Bunda Allah
    doakanlah kami yang berdosa ini
    sekarang dan sampai waktu kami mati.

Amin.

1982
KIDUNG

Betapa alit tanganku menggelitik sabdaMu
yang terucap ketika aku merajut sepi
lewat nyanyiku yang ngungun menapaki waktu
menapaki pintu menapaki jejakmu yang menebar
segenap penjuru.

Nyanyi-nyanyi berubah jadi kidung
kidung-kekidungan berubah jadi lolong
lolong-melolong berubah jadi jerit, pekik
rintih
suaraku serak menyebuti namaMu.

Ketika lonceng gereja meninggalkan gemanya
lagu itu senantiasa ku ulang
dengan suara lirih takut terdengar telingaku
lagu itu senantiasa ku ulang
dari bait ke bait
       kalimat ke kalimat
               kata demi kata
                     ku eja
                   T u h a n
jejakmu meraja ke segenap pelupuk mata
Engkau dimana ?
ku bisikkan jua ke hati waktu
kerna mantra tak lagi terdengar
              tak lagi berkabar
sementara sabdaMu yang pernah aku terima
kian jauh dari cakrawala.

Rindu itu masih juga bersisa
ketika ku singgahi nisanMu yang kedua
MENUJU DERMAGA

Mempertemukan jemari kita saat sepi
ketika bayang-bayang luruh membentuk rupa
suaramu telah sampai sebelum kata lepas tangkai
menyuruki lautan senja

Gemerlap
    gemerlap badai melebur
        dalam sekian damba
pekabaran tanggal satu-satu dimuka jendela.

Hatiku lemah berucaplah
apa arti kekasih apa arti mencinta
sekian tusukan derita sekian waktu
pengorbanan
berapa jumlah.

Keresahan terayun di tiap langkah menapaki
jejak purba yang memenuhi cakrawala tak ku tahu
apa arti mencinta

Bunda Maria, perawan surga
ajari aku jadi gembala

Dari dermaga ke lain dermaga yang sarat damba
kutambatkan sejumlah rindu wujud persembahan
dihatimu - Maria
dihatimu
muara segala muara.

1986
DALAM DIAM

Mungkin engkaulah yang meniupkan angin santer
ketika diam-diam ku injak sabdaMu
di penghujung jalan.

Aku berjalan sendiri kini
diatas kegelisahan yang tiada berkiblat
delapan penjuru angin telenging samudra
dimana Bima menemu dirinya
         dimana Bima menemu hidupnya
                          aku mencari
                aku mencari
dalam kegelisahan yang makin mengendap
dalam detak Sang Waktu tak susut garis edarnya
dalam diam
         dalam tafakur
                dalam Dzikir
                        dalam doa
                                dalam sembahyangku
                                      kepada siapa
Bagaimana harus ku sebut dalam sujudku agar
Engkau senantiasa hadir menjamu langkahku.

Ku masuki longkangan tujuh hari tujuh malam
mati-ragaku tak menampakmu
                        hanya kegelapan
           hanya kegelapan
dalam diam.

Malam ketiga dari purnama ku dengar langkah
menapaki dinding waktu dinding telingaku
pelupuk mata detak nadiku menjelma jadi langkah
gema lima benua tujuh samudra langit dan jagad raya
akupun kebingungan
ketika langkahMu semakin jelas terdengar menjelma
jejak purba
Aku sesambat
suaraku yang nggrantes menjelma mantra memanjati
dinding cakrawala.

Mungkin engkaulah yang meniupkan angin santer
ketika diam-diam ku injak sabdaMu di ujung
gelisahku.
WAJAH

Wajahmu yang luruh menjelma kabut memasuki
pekaranganku yang tumbuh semak senyum
kakekku menghias dipojok sapanya, Amboi
betapa dingin angin utara
keheningan bermakna ganda menguliti sabdaMu
ketika pagi memoles wajahnya
dalam samadi
betapa dekat cakrawala tersaput warna.

Pada akhirnya kuambil jalan pintas
melewati kegelapan dan kegaiban aku berkiblat
meraba dindingMu berkaca lentera
bayangbayang semakin kabur
Aku lebur.

Tapi semuanya jadi bukan
megamega hanya fatamorgana cakrawala menipu mata
semuanya tak bisa kubawa menghadapMu
hanya kekosongan
kekosongan yang senantiasa menghadang.

Sesobek angin menyisir senja ketika usia
hampir saatnya.

1986
KEHENINGAN

Barangkali Engkaulah yang menanam jemari
saat malam menyempurnakan sepi
menyempurnakan keheningan hingga ke puncakpuncaknya
Engkau menyapa dengan gigilMu yang pelan menguak
hening samadi menggelar samudra cahya terang
temaram tiada panas gelap temaram tiada
dingin
menggayuti rasa kantukku yang sembunyi dikaki
kakiMu.

Barangkali Engkaulah yang menanam melati
ketika kakiku menapaki sepi.

1986

KELAHIRAN

Betapa arifnya wajah Bunda yang
menanggung derita akibat sabda
ditiupkannya ke rahimmu suci dan perawan

     Burung dara terbang menyibak awan
     kepak lirihnya ramah menyapa
     demi putraMu Bapa, ku ikut jalan surga
     mengembalakan domba dengan kesabaran
     bagai kau layani aku ketika pertama
     ku minum secangkir anggur dan darah.

Bapa,
perkenankan aku menciptakan Yesus baru
dibawah atapMu juga
dengan suara loncengnya yang merdu mengetuk
setiap pintu yang lelap
tertidur.

Wajah Bunda,
betapa ngungun menanggung derita.

1986
SANG BAYU

Kita lahir dan dipertemukan sebagai dua pribadi satu hati
dari bumi bernafaskan matahari
Aku elang rajawali terbang bebas bermata awas melintas rimba
mencari anak domba berbulu unta menyusup para
mereguk dahaga
padang sendang.
Engkau kelinci kecil, jinak mengendus rumputan
danau bermata bening dari hembusan angin menetes
senyumMu Purba
Anak serigala, merunduk di batang para
dengan kelicikan dengan kerakusan senantiasa memburumu
kedalam bayang
bayang cinta.

Kita lahir dan dipertemukan; bumi terkasih
melahirkan kata mencari makna menautkan hati jadi satu
kesatuan anak lidi
dalam kebersamaan seikat; Menyapulah
bagi kebersihan niat bagi latar
belakang rumah kita, jadikanlah istana.

Kita lahir dengan menyandang perjuangan dipertemukan
untuk menumpas penderitaan
berhembuslah Sang Bayu bagi laju terbangnya
Rajawali perkasa, mendukung anaknya.
Kuselesaikan penderitaan lewat panggraitamu yang awas
kita sepakat kawin sebagai alat pembidik jejantunging ngaurip.
- Kasunyatan kang manjing sajroning susuh angin.

1986
PERTEMUAN

Ku awali perkenalan lewat Adam
dengan bisiknya yang ramah Adam menyuapiku
kelaminnya kepala ular
Adam, Adam aku bukan cucumu yang terlahir
dari dosa lalu menanggungkannya
dengan tangis yang keras menyerupai doa
dengan kawah yang menyertaiku bukanlah cinta tapi hama,
hamamu Adam yang kau tebarkan
diatas benih tanamanmu
Aku anak Maria Bunda terkasih Bunda terpilih
yang menangis kerna dipisahkan dari cinta yang
tersimpan di rahimnya
Yesus mengajariku berdiri mengajariku
berjalan meniti sungai Yordan pertama
ia dipermandikan
sambil mengajariku mengenal kehidudupan mengajariku
menggembala domba
kakiku semakin kurus ditinggal Bapa
diatas salibnya yang tegak menggapai
angkasa cinta kasihmu
tinggal terpaku
di segenap pintu.

Tanganmu telah menyembuhkanku dari luka
kerna tanganmu cinta ucapmu cinta jadilah
Engkau gembala
kerna nafasmu cinta darahmu cinta maka
ku temu jejakmu dalam cinta.

ketika aku ngembara
kutiti jejakmu sebagai gembala.

1985
SEPI PERBINCANGAN

Ketika kau tidurkan aku dengan tembang
ku hapus bayang-bayang yang melekat
dalam detak Sang Waktu menapaki langit
langit kesadaran
menggores cakrawala dengan darah lewat mimpi
lewat gelisah ombak lewat kelembutan angin
lewat matahari membakar gairah: Ach.
Betapa cintanya Ia kepadaku.

Lewat kisi jendela kupandangi kepergianMu
bunga di jemari mengantarkan isyarat asing pagi hari
mengantarkan kekuyuan waktu
yang gagal ku tapaki
Aneh,
Engkau tak juga terluka menyambut belati
seulas senyumMu menebar cakrawala menjelma
mega-mega
( mimpi membutakan kesadaranku )
Ku habiskan hari tua dengan mengenangkanMu
melewati paritparit basah dengan bisik
menebar bunga di sudut kota
Engkau menciumku dekat
persimpangan.

Dalam dingin usiaku
dalam berat kangenku
betapa hangat berdiang dekat tungku.

1986
TEKA-TEKI
 
Marilah kita memecahkan teka-teki malam adikku
setelah melewati ambang gerbang menyusuri waktu
setelah menyepakati duka menjadi milik kita
berbunga tawa sepanjang usia
( lantas kebungahan hatilah yang bicara
  tentang keberadaan manusia yang menolakkan garisnya
  menjemput kilatan badai penghuni dada )

Bergandengan kita menyisir ambang senja
menguak satu mega ke lain fatamorgana
menemu tiada
hingga samodra menggelombang diatas tubuhmu
bentang gendewa melepas busurnya
yang kian susut garis edarnya, O bunga
tembang kinanti tinggal menyusuri rusuk sepi
kembang kantil berbaur bunyi prit gantil
ku tanam chochro kecil di ladangmu
lewat bunga tujuh rupa menuju sumbernya
lewat upacara tiada bermantra menuju muara
gaib dan keramat, yha Allah
ku tuntaskan firmanMu.

1986

Cover Antologi


Rabu, 14 Oktober 2009

Cho Chro Tri Laksono dalam PENGEMBARAAN, sebuah Antologi

PRAKATA

Pada awal-mulanya, artinya ketika manusia masih utuh, belum terpecah-pecah dalam watak dan karyanya, maka fungsi seorang agamawan, seorang ilmuwan dan seorang seniman, masih dirangkap, masih bersatu-padu, belum mengalami diversifikasi. Dan semua kegiatannya itu bermaksud untuk meraih, atau sekurang-kurangnya menggapai “the ultimate reality”, hakekat dasar kenyataan. Demikian dikatakan Edward Shills, seorang ahli sosiologi dari Amerika (lihat buku antopologi lain: Golongan cendekiawan).
Dalam antologi kecil ini kita berjumpa dengan lambang-lambang bahasa berupa puisi yang ingin menyuarakan pengembaraan seorang muda untuk meraih hakekat dasar kenyataan itu. Dan pengembaraan itu dilatar-belakangi oleh tradisi Kejawen, tradisi Kristen dan tradisi Islam.
Pemuda ini menggali dalam khazanah kebudayaan bangsa kita untuk menemukan sarana-sarana guna meraih hakekat kenyataan tersebut.
Apa gunanya? Limabelas abad yang lampau Agustinus telah memberikan jawaban terhadap pertanyaan tadi. “Noverim me, noverim The.” Semoga aku mengenal diriku, semoga aku mengenal DiriMu, ya Tuhan. Identitasku yang sejati baru ku ketahui didalam terang cahaya Tuhan, Nur Illahi. Dan identitasku yang sejati bagi orang jawa berarti warisan leluhurnya, alam pikiran dan perasaan kejawen.
Ini bukan semacam “escapisme”, pelarian dari dunia nyata. Justru ini berarti mau mencari hakekat kenyataan, mencari apa yang tersembunyi dibelakang kulit gejala-gejala yang disentuh oleh panca indera kita dalam hidup sehari-hari.
Semoga pembacaan Antologi ini membantu kita masing-masing dalam pengembaraan kita juga untuk mencari dan menggapai, kalau tidak meraih, “the ultimate reality” itu.



ttd



Dick Hartoko
Ketua Yayasan Karta Putaka
PARANG KESUMO, JELANG SURO

Kucari Engkau, yha
kucari
     di sela debur ombak
           di sisa dingin hujan
                di pasir-pasir basah
                      aku ingin menyapa, aku ingin
                                                    bersama
                      dalam dingin peradaban
             dalam hitam kopi malam
dalam banyang-bayang kematian
membuka resia kehidupan
       mengolah langit dan samodra
             mengolah suara jadi rupa
                   mengolah bayang jadi bentuk
                          dan mengolah hidup
                               kehidupan
selalu kalah dalam percaturan.

Kucari Engkau, yha
kucari.

1981
MALAM
(sepi perbincangan)

DI PINTU PEKUBURAN KU LIHAT TUBUHKU RENTA
BERKUTAT DENGAN MAUT, BEREBUT USIA

Suara-suara dalam gelap mengibarkan tirai putih
bergumpal lalu sinar turun
menyambut kedatanganku.
" Engkau sendiri disini menunggu keajaiban,
menghabiskannya kemarin dalam kitab engkau
menginjak dengan mulut menularkan sengsara
kerna lupa sampai dimana kekuatan kata".
Aku terduduk melihat pemberontakan, ruhku putih
segumpal kapas menyelimuti jasad.
" Lihat, betapa kecil ia Sang Aku Guru Sejati
betapa kecil ia jagad di pangkunya
rumah yang kau huni jalan yang kau lewati
warna berbaur dalam diri. Ku bawa Engkau
Rahsa jati tahta Tri Purusa".
Aku terduduk merenungi cermin yang kemarin
dalam hening dalam heneng ku masuki jejantung
ngaurip jejantung kalbu.
" Ku buka kesadaran kerna engkau
menggenggam kepercayaan menyimpan kesetiaan
kerna engkau berbekal keyakinan maka kau
pasrah di kaki-kakiKU
Engkau telah menerima hidup sebagai kasunyatan
dan penderitaan sebagai jalan
benar yang engkau tempuh
memilih hidup menderita atau menderita
penderitaan sebagai penderitaan atau
penderitaan sebagai ujud pencapaian
Tolehlah dirimu".
Suara dalam gelap menyibak tirai lalu sinar
menuntunku. Menghapus bayang-bayang.

DI PINTU PEKUBURAN KU LIHAT TUBUHKU RENTA
TERSENYUM MELEPAS KEPERGIAN. ALAM LANGGENG.

INNA LILLAHI WA INNA ILLAHI ROJIUN.
TUHAN, AKU MENGHADAP

Tuhan,
aku menghadap
dengan kaki gemetar tangan terkulai
di pangkuan menghitung jari dari bilangan dosa
membangun menara diatas neraka
kerna kelahiran adalah penderitaan, kehidupan
menjelmakan penderitaan, lalu menyelesaikan
     : Dan kematian adalah ujud
       penyempurnaan.
Gemetar do'aku kerna tanah terjanji, dalam ketakutan
sangsi-sangsi, sebuah ajaran
ingin kuhapuskan semua perjanjian dari awal kelahiran
aku bersikap
berangkat dengan keterbukaan, membenturkannya
     : Al Kitab, kehidupan, akal, adala ujud
       kebijaksanaan.
Berjalan menurut suara Sang Gaib, merangkulnya
Alam luas kembali ke Aku
     kehidupan kembali ke Aku
          Al Kitab kembali ke Aku,
                      Tuhan
dengan kaki gemetar tangan terkulai di pangkuan
aku menghadap sebuah
peradilan.


1982
TERMINAL SATU

DENGAN KEBIJAKSANAAN TUHAN
MENIUPKAN SELEMBAR RUH
KEDALAM DARAH
KEDALAM DAGING

Buah yang engkau turunkan padaku
ayat-ayat
belum lagi masak untuk persembahan
sore hari.

Dibelakang rumah kita
mengolah hidup
ayat kehidupan lebih keramat
dalam mati.

Mati sebelum mati
mengenyam matahari
Baitullah
dalam diri.

Diri manunggal ing Gusti
terbuka jarak terbuka jawab
usia tak dapat mengalahkan
Kelanggengan.

Hening
Heneng.


TERMINAL DUA

DENGAN KEBIJAKSANAAN TUHAN
MENIUPKAN SELEMBAR RUH
KEDALAM DARAH
KEDALAM DAGING

Buah yang engkau turunkan padaku
ayat-ayat
belum lagi masak untuk persembahan
sore hari.

Dengan keterpaksaan, mereka
mengolah hidup
kewajiban, ayat
sangsi ditumbuhkan.

Yang terwujud kesadaran adalah
pasrah
yang terwujud kewajiban
ketakutan sangsi.

Pasrah dalam manembah
membuka kunci kesadaran
ayat tak lagi wujud sangsi
kewajiban.

Sunya
Ruri.


TERMINAL TIGA

BUNGA MADMA MUHAMMAD
MENERIMA SABDA
AKU BERKENDARA

Malam sepenggalah bulan Sukma
larut nafas dalam cinta
tumbuh membentuk Aku
dalam tidur yang jaga
bayang-bayang Cinandi.

Hening bening buga madma
aku berkendara mengetuk samudra
mengetuk langit mengetuk kegelapan
mengetuk segala pintu lalu
bersimpuh.

Luruh haru segenap rindu
ku tenu Nur pijarMU
sejuta nikmat terbuka : Jawab


TERMINAL EMPAT

Inilah hari yang pernah terucapkan
melewati lorong gelap pekuburan sepi
suara tapak suara bisik jerit tak nampak
tulang
pucat wajah menyulam sesal bagai anjing
diam
(sepi semata)

Inilah lonceng dari langit katedral. Merdu
bagai ayunan maut menjemput suara jubah
menyapu lantai dengan senyum mengetuk
pintu dengan darah menyeret langkah.

Inilah padang perburuan
wajah nanah gelisah darah
mahkota tanggal keangkuhannya
(cangkem kari wiso moto tanpo cahyo)
Aku berjalan menyibak, tak ku kenal wajah.

Ku bentang lidah bagi sirothol Mustaqin
meniti jalan perimbangan hidup-mati
suara melengking, alunan musik, tangan lunak
menuntun kearah pintu : Ya Allah !
Aku pasrah.

(sinar kuning kehijauan memancar di pusar)
Amin.

1982
TADARUS
(seusai tarawih)

Embun meluncur dari mulut tercium bau
ludah. Sesudah mengenyam segenggam kitab
lantang berucap tentang hidup tentang
Tuhan tentang surga tentang janji
tentang sangsi
( atas nama Tuhan menghalalkan cara
meletakkan kuasa )

Kitab adalah buah apel segar
dimakan isinya dikupas kulitnya
Kitab adalah durian harum
dibuang kulitnya dimakan isinya
( para sufi memakan sarinya
memakan intinya )

Kita terlampau sibuk menyandang atribut
sebelum berperang menghunus pedang
membunuh musuh sebelum sempat
mengencangkan ikat pinggang.

Jangan lawan pedang dengan parang
lawanlah dengan ayat sebagai kau
nggembol jimat
jangan lawan dendam dengan kesumat
lawanlah dengan takbir sebagai puja
puji keramat
( Putra Allah tersenyum
dicincang Yudas
disalib Herodes )

Marilah kita berwudhlu bagi hati
berpuasa bagi nafsu dan mengaji
kasunyatan.

1982
AKUKAH ITU ?

Bayangan Aku-kah itu ?
yang melintas di cermin dan menggapai
tangannya
di pekuburan sepi.

Bayangan Aku-kah itu ?
yang selalu bertanya kepada siapa
untuk siapa
di tanah mati.

Bayangan Aku-kah itu ?
berwajah pucat menghitung hari
mengenal asal
kapan kembali.

Bayangan Aku-kah itu ?
duduk diam hening sepi
di Paramadma
sempurnakan diri.

Bayangan Aku-kah itu ?

: Hampir-hampir aku tak mengenali.


1982
LAGU PERSEMBAHAN
: kepada kawan seperjalanan

NUR KEKASIH
LAHIR DARI BUNDA TERKASIH
MENGULURKAN JARI DI PINTU PUTIH
LAGU BURUNG PEDASIH

Terbaring aku mengenang
mereguk malam demi malam memburu kata
tak sejemput punya makna
lupa aku mengenal wajah diri
mengenal rusuk Adam. Tuhan
tiupkan nyawa : Aku mengaca

Telanjang aku mencium kaki
tahta surga daun terkunci pintunya
di hitam rambutmu, kabut
sembunyikan jarinya
betapa sempurna.

menyentuh tanpa meraba menyapa tanpa bicara
menjawab tanpa ditanya
( dihadapanMU kata kehilangan makna )
dengan keterbukaan penuh kejujuran
dengan kewajaran penuh kesabaran
dengan kesadaran penuh kebijaksanaan
dengan segala kekurangan ku persembahkan
: Hilangkan persangkaan.

Rindu, ku peras darah
kedamaian.

1982
AJAL

I

Bayang-bayang
mengendap lalu menyelinap dalam gelisah
nafas gemetar dalam ruh
Aku memberontak
        pada Sang Nasib mempertanyakan usia
        pada Sang Maut yang menyambut pesta
        pada penderitaan Sang Kelahiran
        Sang Kematian.
Ingin kusempurnakan jalan yang pernah
tercatat dan terlewat
Ingin kuhapuskan perjanjian lalu mengumandangkan
pembebasan dalam
Ruh.
      : Bayang-bayang gemetar dalam doa
        penghabisan.

II
Jerit panjang
nelontarkanku ke awang-awang ke tanah sebrang
jalan panjang tanpa siang tangpa malam, waktu
kehilangan pedoman
sosok diam sosok menggelepar wajahku
penuh warna.

langit-langit tempat berteduh lantai-lantai
alas berpijak, dinding batas usia
ingin ku tinggalkan dengan penuh
kesadaran
wajah-wajah luka ingin ku hapuskan dengan
penuh kesabaran.

Bayang-bayang mengendap
Bayang-bayang menyelinap Sang Aku
menghadap.


1982
PENYALIBAN

I


Ternyata aku selama ini keliru menatapMU
sesosok senyum di kayu penyaliban dengan darah
mengalirkan ketulusan
                          cinta kasih
                                    sampai kemana ?
ada rasa nyeri tersimpan luka, di lambung
penderitaan
         tombak dendam
        duri mahkota
( Engkau tak juga rela melepas kepergian )

Ada sedikit rasa sesal meluncur dari sudut
bibirmu yang penuh oleh senyum
kerna usia terlampau cepat terenggutkan
sementara tanaman belum selesai tumbuh, dan akar
belum kuat mencengkeram tanah.

Engkau keburu pergi, dan
Aku harus mencari.


II
Pintu-pintu kotamu tlah sepi dari pesta hari
ketiga kepergianMU menyempurnakan cinta
benih-benih tlah tumbuh dan mata
tlah terbuka menyambut derita.

Jalanan yang pernah kau lewati, orang-orang
berbaris sambil mengumandangkan lagu
Damai di Bumi
         Damai di Hati
                  Kasih meliput sanubari
berkumandang ke seluruh pelosok negeri.

Mereka berarak berkeliling mewartakan
pekabaran tanah terjanji
Kristus meminum darah
                      kesucian
                              memakan tubuh
                                        kedamaian
                                                meniti jalan
                                                         keselamatan
                               : Tombak darah mahkota duri
                                      kuda duniawi dihapusnya
                                                di kayu penyaliban
                                                                         .

Orang-orang mulai ramai menyalibkan cinta
di pintu-pintu mereka.

1982

PRINT AD

Add caption ...