Rabu, 09 Desember 2009

TEPIAN

Kamar, dimana pintu-pintunya tertutup rapat
aku terbaring diam memeluk awan yang menggumpal
dalam dada
disini, kenangan begitu deras mengalir dalam darahku
bagai gemuruh ombak membentur karang tegar di tepian
keyakinan pernah kami pahatkan pada dinding bisu
ketika angin mendedas pertahanan kamipun runtuh
menerbangkan angan kami melewati batas negeri
dimana pantai-pantai menghempaskan kami
dalam kedamaian tiada tepi
sebuah kebersamaan telah kami arungi disini
hingga kami merasa tak terpisahkan menapaki waktu.

Kini aku sendiri menyisir pantai melabuhkan sepi
segalanya telah berakhir disini
tinggal kenangan dan kerinduan terukir di pasir
tepian.

parangtritis jelang ultah, 1988

TUNGKU API

Kabut yang mengendap dari waktu
menjelma bayang tak ku tahu
sejak kapan menghuni ruangku
bagai tanaman ia tumbuh
merambati nadiku menetes
embun
pagi sekali
bahkan terlampau pagi untuk berteka-teki
siapa menjelma dalam hati
kala sepiku merindukan tungku api.

juni 4, 1988

FRAGMENT (seusai pertemuan)

Aku berdiri di atas panggung menonton
wanita yang aku cintai berdialog tentang diriku
di belakangnya, seorang wanita dengan menara gadingnya
ponggah menggapai-gapaikan tangannya ke angkasa
sungguh,
ini sebuah pertunjukan yang barangkali
mampu menina-bobokkan diriku ke dalam mimpi
dengan belati mencuat di punggungku.

Aku tidak beranjak dari tempatku berdiri
di atas panggung yang menawarkan berjuta fantasi
segalanya memang bisa terjadi dan mungkin, sebenarnyalah
aku rindukan sebuah tikaman langsung menghunjam ulu hati
tapi tidak di atas panggung seperti ini
aku tak ingin membela diri betapapun pedihnya
darah membasahi tubuh sendiri.

Akupun terus berdiri menanti pertunjukan usai dan pemain
kembali memerankan dirinya dengan sarang laba-laba
membentang di belakangnya
akupun menggelar layar baru bagi sebuah babak yang
belum terselesaikan
inilah panggung sebenarnya bagi kita
membuka-buka sejarah lama hingga terdampar dalam bejana
menelanjangi kita
kenapa kita merasa asing dengan diri kita sementara
kita mampu berperan sebagai orang lain sedemikian baiknya
kenapa kita harus menina-bobokkan di singasana
sambil diam-diam memasang jerat di lehernya ?.

Ach adikku
janganlah terikat oleh cerita yang pernah kita buat
ketika masa remaja kita belumlah bulat
tinggalkan panggung ini dan berbuatlah sesuatu
barangkali ada sebuah negeri yang mampu mendamaikan
meneduhkan dari badai terik matahari
sementara biarlah aku tetap disini merenda keyakinan
yang kian lama kian tebal menyelimuti hari-hariku.

Aku masih terus berdiri, walau pertunjukan tlah lama berhenti
di depan cermin diri terasa begitu nikmat
sambil menikam-nikamkan belati ke jantung sendiri
ku persembahkan kepadamu
secarik kertas yang koyak-moyak bertuliskan darah
mengucur dari lambung kristus
barangkali ini jalan terbaik untuk mengakhiri perjalananku
begitu bukan adikku ?

Subuh, jelang 15 juli 1988

W A J A H

Ku rengkuh kedamaian bukan kerna apa
melainkan sebagai sarana persembahanku pada yang kuasa
yang mampu menggelorakan tanganku hingga tercipta
                                  wajah surga
yang mampu menghentikan gerak bumi hingga tercipta
                                diam temaram
    yang mampu menjaring angin hingga terjelma
                               puncak hening
                                     disana
           tubuhku lemah terkurung kaca-kaca
                   tanpa pintu di dindingnya
                              aku mengaca
                                duh Tuhan
                  ini jiwa dahaga senantiasa
         ku luruhkan sujudku tak menemu apa
      ku tuntaskan firmanmu tak sebatas mega
hanya fatamorgana menggantung di pelupuk mata
          ku rengkuh sejangkauan tak sampai
                    luput darai tangkapan
                   kian jauh di atas awan
         menerbangkan jiwaku yang rawan
                          dari sentuhan
                            tanganMu
                           yha Tuhan
                             ulurkan
                                 .

agustus 5, 1988

MATA

Nanar mataku
mengaburkan lafal mantra
menjelma banyak jalan
tak ku tahu mana kan sampai tujuan
terdekat dengan langkahku
tlah lelah ku mencari        
     tlah lelah             
           ku berlari
                   tlah lelah
                           bersimpuh di kaki
                                   duh Gusti
haruskah ku berhenti sebelum ku temu                
ataukah terus mencari sampai akhir perjalananku
kebimbangan ini kian memberati lanhkah         
sementara yang ku cari                                       
terus berputar                                                      
melingkar                                           
dalam benakku.                 

agustus 6, 1988

BUAH

Bakti karma dan kesetiaan terasa begitu samar dalam tatapan
serangkaian persembahan hidup yang berputaran kait mengkait
tanpa satu kepastian.
Sebuah upacara, serangkaian sesaji tanpa hati adalah
kesia-siaan yang terpelihara di dalamnya termuat
beban tak terhindarkan,
Oleh nasib kita dibedakan dalam tingkatan
oleh kewajiban kita dibedakan dalam kesadaran
hingga bakti itu tetap berujud bakti tanpa makna
sangsi dibelakangnya adalah karma buah dari
ketidak-setiaan kita pada nurani.
Hidup perlu keberanian
keberanian bersikap, bertindak dan memutuskan permasalahan
mengolah hidup adalah mewujudkan impian menjadi kenyataan
dan kenyataan haruslah dihadapi dengan mata terbuka dan dada
bukan lewat kata atau nada
tapi ia bersuara membawa gema
betapapun lirihnya ia.
Bakti dipermukaan adalah pembunuhan secara perlahan
karma datang dari diri kita untuk diri kita
sedang kesetiaan adalah tanggung-jawab yang dipertahankan.

desember 11, 1985

CAGAR ALAM

Jakarta bukanlah tempat memanja adikku,
melainkan pikir
dan pikir senantiasa menyentuh permukaan sedangkan rasa
ada di kedalaman
laut senantiasa berombak beriak di permukaan
tenang diam di kedalaman abadi senantiasa
walau badai mengguncang
dan akulah penghuni kedalaman yang setia
merengkaki relung karang jengkal bebatuan
dasar samudra
tak setiap orang berani memasukinya.

Jakarta adikku,
airnya begitu beriak menampar-nampar wajahku
alam pikir penuh akal menyelimuti waktu
yang tiap detaknya saling memburu
aku ingin tegak dalam diamku
tiap bidikan senantiasa mencari kelengahan
dan rambutku yang panjang menggeriap
di hembus badai segala penjuru.

Jakarta adikku,
adalah cagar alam bagi satwa
aku ada disana tapi tak bisa
masuk kedalamnya.

desember 7, 1985

PRINT AD

Add caption ...