Kamis, 15 Oktober 2009

KIDUNG WAYAH WENGI antologi puisi II


NYANYIAN OMBAK

Masih ku dengar desahnya yang membara
laut kidul menggelora buih
memerak di bibir-bibir pantai menyuruki sepi
yang hampir mengatupkan matanya
O, cinta
dahaga tinggal selembar benang yang merajut kenang
pada masa-masa yang telah silam ditelan waktu
debur ombak laut kidul mendendang rindu.

1984
KETIKA KU MASUKI BERANDA RUMAHMU
( ngadisuryan IV/135 )

Maka ku labuhkan kapal kenanganku
setelah sekian lama hidup mendamba
biduk menghilirkan kata
menghilirkan nafasku memasuki rusukmu.

Lantas ku wartakan kepadamu sebuah cerita
tentang laut yang tertidur di kakimu
nafasnya gelisah, gagal istirah
kemesraan yang luput dari jamah.

( lagumu yang purba mengarungi samudra
    hingga tanganku tak kuasa meraihmu
    melabuhkan kata dalam satu dermaga )

Maka ketika pagi mengurai sinarnya
ku layarkan perahu isyarat ke jantungmu
lewat angin yang bertiup disela rambutmu
kutuliskan rindu. Dengarkanlah.

1984
TLAH TERGETAR TIRAI

Ku tangkap surga di matamu
pada bulan ke tujuh langkah
terhenti membelai
     dingin angin gunung
         panas angin gurun
               keheningan malam
kelaparan dalam penantian bergumul
dalam kabut.

Datanglah wahai,
yang pernah hinggap lalu lenyap
dalam gelisahku
( embun menetes menyentuh tirai
                 gemetar
        Ruh lama tersimpan )
bayang-bayang menggigil di altar
kudus kata
jawaban resia lamat-lamat terdengar
di kakikaki telanjang.

Ku tangkap surga di matamu
pada bulan ke tujuh langkah
terhenti membelai.

1985
DI SUDUT MATAMU ADA EMBUN

Di sudut matamu ada embun menusuk kata
berkabar tentang rindu yang tertahan
oleh gelisah waktu
di ujung rambutmu.

Ternyata aku tak cukup sabar menahan sepi
merentang busur di pintu bidik jantungmu
gemetar menyembunyikan detaknya.

Pada akhirnya kutuliskan angin di daunan
kerna kata tanggal dari tangkainya gelap
rimba tak mampu mengurai makna
( engkau senantiasa terjaga dari nafsu
  dan prasangka ).

1985
KIDUNG SAJRONING WENGI

I

Wahai kekasih, tanggalkan jejakmu
dalam kesuraman senja kuletakkan lilin
di atas meja antik. Cantik
serangkaian melati disisi bayang-bayang
tirai tersingkap, di luar
gelap.
: Tak ada tanda-tanda kau akan hadir
  menjamu luka

Wahai kekasih, tengoklah kedalam
sepi
menyambut malam.
: gerimis mulai turun di pekarangan.


II
Kemarin teras dan beranda sepi
kau tawarkan mimpi lewat jendela
terbuka
    (  suara-suara di kegelapan
       cakrawala kehidupan di kegelapan
       angin dingin di kegelapan
       lewat menyapa )
Duka, masa remaja
tawarkan padaku cerita
buah pohon di pekarangan
    : Ku petik satu buah pohonmu ku tawarkan
      buah pohonku kepadamu lalu
      dengan sembunyi-sembunyi kita
      mencicipinya.
    ( suara-suara ombak di kejauhan
      suara angin mampir di wuwungan
      suara malam membawa keheningan
      membisik
                  membelai
                                lalu meredakannya )
Kesegaranpun menyemaraki pertemuan, kita
ingin mengulangnya.

1984
PRAMBANAN
( dalam kusam peradaban )

Pada batu
tuding angkasa
matahari merah di barat cakrawala
dekat penghabisan
menancapkan makna
pada dinding
pada stupa
keseharian adalah upacara-upacara.

Tlah dekat keabadian
pohon hayat
dunia bawah
atas
tersatukan.

Paramatma
tinggalkan usia.

1984
BOROBUDUR
( purna pugar sebuah peninggalan )

Barangkali engkau hanya membuat isyarat
lantas kau tanam melati di perbukitan
kelopaknya anggun, bertahta lentera
( menciptakan nirwana di putiknya
  menyedu madu di pusat kalbu )
lantas hiduppun menjelma cerita, dinding stupa
         - Sang Budha berpradaksina  -
( Lumbini taman kembang, mengenal arti
  keramatMu tak pernah asat ).

Barangkali engkau mulai mengurai isyarat
lantas kau masuki trisula delapan kiblat
( nyala dimar di kegelapan adalah nyalaMu
  nyala yang senantiasa tumbuh dalam pasrah )
O, jagad
ternyata hidup sekedar kembali ke hakikat
mengembalikan dunia ke alam Rahsa. Dana warih
                Sang Budha berpradaksina   
           - jubahnya bunga tujuh samudra -
tumbuh teratai di lautmu, tumbuh urna di keningmu
telingamu, O
betapa dalam arti kurban
( di matamu mengerdip bintang, di mulutmu bau kembang )
: di puncak doa purba memasuki sumber suara.

1984
MASUKLAH, DINGIN DI LUAR

Lihatlah,
nadiku mengerdip perlahan menyapamu
sejuta malam sejuta siang, engkau
senantiasa muncul melintas waktu
kesunyianku.

Sapalah,
pada injakan pertama bumiku bergetar
seperti melawat seorang sahabat yang hilang
dalam perjalanan panjang menuju
peristirahatan.

Masuklah,
tlah kubuka pintu sebelum kau sempat mengetuk
kepastian.

Minumlah,
ini darah perjanjian yang lama
hasil tanaman kita
segar
tersentuh sapa.

Makanlah,
ini roti sisa perjamuan kemarin
kamar pengakuan kudus
oleh kata.

Masuklah,
dingin di luara
: Pagi mengusap wajahnya.

1985
BARANGKALI KITA TERLAMPAU PAGI
MENABIKKAN SALAM


Oleh keterasingan kita dipisahkan, dua bukit
mengisyaratkan suara asing lewat angin kegelapan
hati kita membara oleh gelora
ataukah badai yang membisik ketika senja
melarutkan nafasnya.
Ach,
betapa samar makna yang tersalib di jemari
tirai angan berkabut awan.

Ataukah kita terlampau pagi menabikkan salam
hingga yang terdengar oleh kita adalah sangkakala
mengisyaratkan peperangan dalam perjalanan
atau barangkali kita keliru mengurai makna
hingga yang terjelma di hati kita adalah prasangka
mewarnai tiap perjumpaan
( kita menyangka gerimis yang bakal membasahi hari
  ketika pagi meneteskan embun di dedaunan )

Atau sebaiknya kita tak saling berkirim isyarat
sebelum kata berubah jadi sabda menjerat kita
dalam sangsi tak tersapa
atau sebaiknya kita saling menolak keyakinan yang berucap
lantas kita saling menjaga kegelisahan
membebaskan warna dari fungsi dan makna.

Barangkali kita terlampau pagi menabikkan salam
hingga hari kita terlampau cepat menjadi malam.




1984

DENGAN MATA REDUP KITA MENGUCAP
SELAMAT TINGGAL


Dengan mata redup kita mengucap selamat tinggal
embun mulai turun,  basah - tertahan di daunan
amboi - betapa cantiknya bunga mengurai kelopaknya
mengurai kediamanmu yang selama ini terjaga
dasar samudra menyimpan resia.

Ach, seandainya ku tahu dari mula
ku hembuskan nafasku menggemerlap mimpi
memetik sekuntum bintang dari nyanyi matahari
membidikkan jantung ke pusat hati
pusat segala hidup dan mati. Betapa sepi.

Ketika mata hampir terpejam, ku genggam tanganmu
dalam kebersamaan mengarungi malam gelombang tubuhmu
mengoyak sepi mengoyak kegelapan mimpi
( dan purnama tampil di wajahmu ketika tanganku
  menusuk pusat rahimmu )

Ach, seandainya ku tahu dari dulu
betapa ramah tubuhmu mengendapkan kantuk dahagaku
menghembuskan kemesraan di kuduk malam
( saat itu terasa betapa nikmatnya pamitan
  dengan membawa sisa kegelisahan ).


1985
KERETA SENJA, SAAT GERIMIS
MEMBASAHI RAMBUTMU


Entah yang keberapa perasaan seperti ini terulang
kereta yang bakal mengantarkanmu pulang ke bumi
tanah dimana engkau tumbuh dan dibesarkan.

Ku pandangi rel-rel yang berjajar berdampingan
mengulang ceritaku yang panjang. Cerita kita
dimana kita pernah saling mendamba membagi duka
membagi kemesraan sepanjang perjalanan
tapi kita senantiasa tak pernah tersatukan
walau tak terpisahkan.

Keretamu berangkat dik Ika, menyeret keharuanku
peluitnya yang panjang menyayat sepi. Duh.


1983

JALAN SALIB

PERSIAPAN
( getsemani )

Ternyata engkau masih juga sangsi dengan kesetiaanku
tentang derita yang bakal menimpa kita, atau
mungkin engkau sekedar meyakinkan dirimu agar darah
di lambungmu sampai juga ke tubuhku kurus berkeringat
salib di pundak.
Kini kita saling berhadapan, saling bertatapan
dengan paku menancap di tangan.


PERHENTIAN PERTAMA
( pilatus )

Engkau memanggul beban dombadomba, bebanku juga
bukan kerna gelisahku engkau menanggungkan sengsara
bukan kerna kedurhakaanku yang memenjarakan cinta
aku hanyalah sarana
yang bakal menggenapkan janji tentang Sabda
tentang Taurat dan mulut Nabi
aku hanyalah utusan
yang bakal membuktikan keberadaan manusia senyawa
Allah Putra
jangan sesali waktu yang bakal merenggutmu, keluhmu
noda bagi pengabdianmu.
Menggenapkan janji, biarkan semuanya terjadi.


PERHENTIAN KE DUA
( salib membentang di golgota )

Betapa berat menjadi pelayan bagi diri dan orang lain
bagai kau layani aku dengan tangan bentang lautan
lantaran kasihmu membuahkan gelisah, engkau
ku tanam di bukit sepi agar kematianmu
membuahkan kasih di hatiku.


PERHENTIAN KE TIGA
( salib tanggal di kaki )

Ada palagan di hatiku, koyak-moyak
salibsalib tanggal di kaki
kurus tiada berakar
kemanusiaanmu
menumbuhkan luka di lambungmu.


PERHENTIAN KE EMPAT
( bunda penawar luka )

Bagaimanapun juga kehadiranmu penawar luka
rasa trenyuh menghilirkan dahaga, Airmata
tersaput wajah Bunda
Bagaimanapun juga aku buah kasihnya
yang dikandung dalam cinta dan derita
dipisahkan  dalam cinta dan derita
ketika kau jumpai aku dalam derita di atas salib
engkau gagal menyembunyikan cerita
di atas tubuhmu kau tegakkan salib menyangga
tubuhku luka
: Bagaimanapun juga kita buah dan tanaman.


PERHENTIAN KE LIMA
( simon dan sirena )

Ku jabat tanganmu berdarah di penyaliban
di lambungmu luka tak ku temukan denyut Tuhan
kerna tangan kita samasama terpaku jadilah kita
kutu bagi gelisah orang-orang.


PERHENTIAN KE ENAM
( veronika )

Kerna cinta adalah kasih belas tak butuh balas
maka ku cium darah di lukamu
    ku cabut duri di kepalamu menetes
    darah di lambung mulutku
: Pucat oleh nafsu.


PERHENTIAN KE TUJUH
( engkau jatuh kali yang kedua )

Sebagai dua orang sahabat kita saling menjaga
berjalan bergandengan sambil berbincang gurau
tawa membuat kita lupa lantas luka
: Engkau jatuh untuk kali yang kedua


PERHENTIAN KE DELAPAN
( tangis perempuan di pinggir jalan )

Jangan lanjutkan tangan kau ulurkan kerna tangis hanyalah
persinggahan sejenak bagi duka
kemanjaan mengalir tak kuasa membendung luka, biarkan
tangis mengalir memenuhi jalanan
menghilirkan penyesalan ke pelabuhan.


PERHENTIAN KE SEMBILAN
( jatuh kali yang ke tiga )

Ketidakpuasan mengantarkanku pergi ngembara
memasuki jalan-jalan asing dalam darah
ku mengurai makna
sumber suara.


PERHENTIAN KE SEPULUH
( berdiri telanjang )

Ku cinta orang lain bagai cintaku padamu juga diriku
ku hormati orang lain bagai hormatku padamu padaku juga
ku serahkan tubuhku luka dan berdarah kepadamu.
Terimalah.


PERHENTIAN KE SEBELAS
( salib )

Ku wakili tangan orang lain lewat tanganku memakumu
kerna kepergianmu menumbuhkan kesadaran baru bagiku
betapa aku membutuhkan dirimu untuk menuntunku.


PERHENTIAN KE DUA BELAS
( kematian di kayu salib )

Ketika ku masukkan tombak ke lambungmu putih
orang-arang berebut menadahkan tangan di salibmu
mengapa menangis (?) melarutkan kesedihan
kepergianmu memenuhi panggilan Bapa di surga
kematianmu adalah kebangkitan hati kami
kebangkitan tangan yang membutuhkan uluran.


PERHENTIAN KE TIGA BELAS
( kesaksian )

Engkau kembali menjelma dalam sabda
terdengar di tiap hati manusia.



PERHENTIAN KE EMPAT BELAS

Dalam tidur yang jaga bisikmu senantiasa
    " Di hatimu aku menjelma "


PENUTUP
( hikmah )

Engkau menempuh jalan sengsara mewujudkan cinta
kasih senantiasa diikuti pengorbanan tubuhmu
terpaku di penyaliban
Engkau mengalahkan tubuhmu untuk menangkan sabdaNya
kematianmu awal kehidupan kesadaran kami
pengorbananmu menumbuhkan keberanian bagi kami.

1986

SAAT (gerimis)

Telanjanglah sepi saat gerimis
tertidur dalam kamar
melelapkan kesadaran yang lama kubangun dalam mimpi
mimpi malamMu.

Menetes Ruh
menggetarkan rahim sanubari yang sarat
membebaskan beban dari jarak. Pintu
asal Adam menggauli rusuknya.

Rasa tak tersapa
menderaikan air mata yang tak jua lunas
oleh ungkapan kata
yang ku temu pada lonceng gereja ketika senja
memukul keheningan.

Gerimis turun
membasahi sanubari kehidupan yang selalu salah
menerka arah langkah.

november 1982
TIDUR

" dalam tidur, ku dengar
  kucing menggeram
  mengendapkan birahi yang
  muncul dalam keheningan
  sepi
  ."

1986
PERSETUBUHAN

Sementara aku pergi menyusur sepi
kubiarkan pelataran ditumbuhi melati
bagi jalan Sang Kodrat, hidup adalah persetubuhan
menyatukan Dzat Kawulo dan Dzat Gusti
yang senantiasa ingin bermesraan.

Ku masuki lembab rahimMu
gelap dan gaib
mengayun sukmaku diatas megemega
diatas piano tubuhMu, nyanyi gereja
meremang kudukku mendaki puncakNya.

Bintikbintik keringat butirbutir nikmat
mengalir dari seluruh rahmat
dalam rahim purbaMu
tak tersapa.

1986
VENI DOMINE JESU

Wahai merpati kecil yang melintas kepalaku
saat Yohanes mempermandikan kepakMU
lirih berbisik di telinga
" Inilah Putraku, yanh lahir dari rahim Roh Kudus
  darahnya lautan lidahnya anggur setaman
  terimalah ia sebagai cahya yang bakal menerangi
  hati manusia"


Yha, yha, bagikan pada kami terang hingga tumbuh cinta
kasih yang memancar lewat tanganku kecil, lantas
ku sembuhkan orang sakit kubuka mata buta kubagi
roti bagi yang lapar kudamaikan perang dan
kubangkitkan yang mati lantas kutunjukkan jalan
menghadapMu
sebagai gembala kuselamatkan dombadomba dari duri
serigala
dari jerit dan keluhsesal.

Wahai,
datanglah terang bagi hati hingga tumbuh waktu
tumbuh kesadaranku.


1986
SAMUDRA

Dia yang bertelinga samudra hingga hilang tepi
Aku menampakNya
memasuki dunia yang gaib dimana langit dan samudra
bertaut dalam diri menjelmakan nuansa
            wangwung
hanyut dalam deras sungai memasuki darah
keheningan
    maha luas
        kehenengan
            maha lepas
maka lepaslah segala keinginan
    segala penderitaan
        - Aku hilang -

Segalanya nampak samar
tak punya apa tak merasa apa
: di Samudra.
MELAWAT SEPI

Ketika aku bersimpuh mencium kakiMu
memanggilMu dengan sejuta Dzikir
sepanjang hari memenuhi bumi, Engkau
tak juga hadir menemuiku.

Dalam Khusuk sujudku yang pasrah
menghitung waktu yang senantiasa bertambah
menekuni namaMu merenungi kuasaMu. Purba

Ketika anggur membasahi keningku
ketika tersentuh altar kudusMu
betapa asing bau tubuhMu terdengar
dalam sanubari yang rawan.

Lantas ku bakar segenggam kemenyan dengan nasi
tujuh warna bunga tujuh sumber air
mengaliri kehidupan
lewat sebait mantra kekidungan yang nglangut
menyebrangi samudra wening tak tersapa.

Reguk, reguklah darah yang habis gairah
menyinggahi setiap batu setiap nisan mantra
sabda
hanya gelisah dan resah yang ku temu dalam singgah.

Dentang itu kembali berulang
saat aku tak ingin apa tak punya apa
menggemakan keasingan yang tak ku temu
dalam mencari.

DOA

Seberapa jauh aku harus nyebrang
samudra cahya yang tumbuh mata
dalam tafakur doa
pada setiap anggauta.

Berapa kali harus ku eja nama purba
dalam luruh sujudku mengawali doa
sebelum aku sampai kesana
pada saatnya.

Ketika ku ulang
aku ingin berpulang.
LAKU

ati kang menep
sumeleh ing samubarang
sumarambah ing laku
kang kapisan
kapindone
karep
niyat kang luhur dumadi
saka abdi-daleme Gusti
kang amung sawiji
kaping telune
niyat madep
lumaku ing marganing Gusti
anteping ati
niyat ing kiblat
sira bakal tumeka
pusering jagad pusering Dzat
kang anglimput jasad
iku kang kaping pat
kalimane pasrah
jiwa lan raga lumeburna
sajroning wahananing Gusti
amurbeng gesang
pasrah bali
pasrah anglampahi
gesang kang langgeng
pangkoning Gusti
.
BERPULANG

Jangan sambut kepulanganku dengan tangis
kerna tangis mahkota duri
menghadang cinta Kristus lewat tangannya
kerna tangis sayatan hati
menggores kening Kristus membekas luka
mengucur darah
    memberati langkah
        tersenyumlah
bagai Bunda Maria
buah anggur direguk hati dahaga
lapangkanlah jalan bagi anak domba
pulang ke gembala.

1986
PERCAKAPAN

Ada lintas keengganan di ruang tamu, sambil menyantap duka
di balik terali. Demi perlambang, kau selesaikan sebait
melati di halaman
( pintu duka mengurung, matamu basah kabut )
" Betapa berat menyandang hidup dalam kehidupan" ucapmu
" pasrahlah, kita sekedar titah" sahutku sambil menganyam angan
" jangan sesalkan Adam memakan rusuknya, sesalkan diri kita
  yang mengeluh menerima nikmatnya"


Terdiam engkau menatap cakrawala merah, senja lembut
menidurkan mentari nakal dalam pelukan jagad.

Tertegun engkau memasuki pintu berdinding kaca perlambang
kehadiran Adam baru.
" kita hanyalah seonggok daging yang dipadati nafsu dan
  merah diwarnai darah, berkacalah"
" kita selalu luput dari pertimbangan"
gumammu pelan.

Tertunduk engkau mengusap keharuan, sehabis bermandi sepi
di alam sunya.
" disini bumi lahir berakhir, pertama Adam menyantap
  rusuknya dibawah anggerangger menyembunyikan gelisah"
" yang kita kenyam hanyalah sisa Adam hari kemarin kita,
  yang bakal kita selesaikan di sisa usia"


Tersedu engkau bersimpuh di kaki Ruh
kaki keheningan.
SUARA

Barangkali surat yang jatuh di pangkuan tidak berkabar apa
bagai jatuhnya puisi tidak untuk siapa, kehadirannya
hanyalah kilat pisau menyimpan tajam di ujungnya.

Penantian hanyalah kesia-siaan yang datang dari sebrang
tak menjanjikan sesuatu tak memberikan sesuatu kenyataan
terlahir dari laku diri mencari jalan.

Penyeberangan adalah awal pergulatan melawan kodrat
dari mula mencari hingga menemu tatanan dogma bagai
jatuhnya sinar bulan membawa terang jalanan.

Hidup bukanlah sekedar menjalani kodrat dan menunggu
kepastian harus didapatkan sebelum tujuan sampai
kerna waktu tak bakal berulang menjemput yang tlah hilang.

Barangkali surat tak berkabar apa melainkan siratnya
bagai sebuah patung yang tegak sebagai perantara
menyeberangi jalan-jalan yang tak nampak dalam ukirannya.

Barangkali puisi hadir tidak untuk siapa tapi getarnya
melantunkan kebeningan mata air yang menyimpan sumbernya.

Barangkali aku tak menuliskan apa kerna keterbatasan kata
yang terlihat bukan wujud sesungguhnya dari getar
sebuah suara.

1986
SANG AJI

(   kakang kawah adi ari-ari reksaning awak
    teka tak celuk tak jaluk gawemu
    undangen jabang bayine danyang sumbi
    teka turu teka tangi teka ngadeg teka mara
    teka welas teka asih
    asih-asih saka kersaning Gusti Allah )


Ini malam hanggoro kasih saat dewa
menebarkan jala asmara
bagi kerinduan kasih tak terbalaskan
ku lepaskan padamu sebait anak mantra saat diri
tertidur dalam angan saat dingin
mencapai keheningan
masuklah !
segala benih kedalam ruh kedalam darah
mewarnai kehidupan.

Ini malam burung pedasih nembang
menyuarakan sepi nglangut kekidungan ati
melenakan kesadaran dalam bayangbayang asmara
melenakan penalaranku kedalam kekuatan di luar diri.

(   kakang kawah adi ari-ari sedulurku sejati
    kang lair bareng awak kang sumadyo mBiyantu awak
    kang setya marang awak
    tunggal karep tunggal sedya tak jaluk gawemu
    nglepas jemparing kamajaya
    papat niatku limo sedyaku wolu jejantraku
    tumekakno jemparing ing  pangkoning kama ratih)


Dalam tidur yang jaga bayangbayang kakekku
warna merah di wajah hitam pori darah
diminumkannya seguci mantra ke mulut kecilku
anak lanang kang neruske trah Rangga Rahina
Aku tak tahu makna tak pandai membedakan rasa
ku telan kebanggaan seorang cucu menyandang
kejayaan moyangnya
namun aku lupa menidurkanmu di peluk anak mantra.

Wahai, wahai
bangkitlah kesadaran di tiap langkah
bagi anak gadisku yang bakal lahir dari rahim Maria
demi Bapaku yang bertahta di surga
demi calon istriku - Bunda Maria
ibu terpilih dari yang terkasih
ku serahkan diriku
altar kudus
        secangkir darah
                   sepotong daging Kristus
                              ku masukkan ke rahimmu
                                        Roh Kudus
                                 pusat segala hidup
tak ada lagi yang memberati langkah
ku pertaruhkan kebangganku ku pertaruhkan
keinginanku ku pertaruhkan segala kekuatan
yang melekat
ku tanggalkan segala milikku
di pintu kesadaran.

Kita kawin,
tak perlu saling memiliki
sepakat mengawinkan hati dan pribadi di hadapan
Dzat tertinggi
Roh suci.

:   Salam Maria, penuh rahmat Tuhan sertamu
    terpujilah Engkau diantara wanita dan terpujilah
    buah tubuhmu, Yesus
 

:   Santa Maria, Bunda Allah
    doakanlah kami yang berdosa ini
    sekarang dan sampai waktu kami mati.

Amin.

1982
KIDUNG

Betapa alit tanganku menggelitik sabdaMu
yang terucap ketika aku merajut sepi
lewat nyanyiku yang ngungun menapaki waktu
menapaki pintu menapaki jejakmu yang menebar
segenap penjuru.

Nyanyi-nyanyi berubah jadi kidung
kidung-kekidungan berubah jadi lolong
lolong-melolong berubah jadi jerit, pekik
rintih
suaraku serak menyebuti namaMu.

Ketika lonceng gereja meninggalkan gemanya
lagu itu senantiasa ku ulang
dengan suara lirih takut terdengar telingaku
lagu itu senantiasa ku ulang
dari bait ke bait
       kalimat ke kalimat
               kata demi kata
                     ku eja
                   T u h a n
jejakmu meraja ke segenap pelupuk mata
Engkau dimana ?
ku bisikkan jua ke hati waktu
kerna mantra tak lagi terdengar
              tak lagi berkabar
sementara sabdaMu yang pernah aku terima
kian jauh dari cakrawala.

Rindu itu masih juga bersisa
ketika ku singgahi nisanMu yang kedua
MENUJU DERMAGA

Mempertemukan jemari kita saat sepi
ketika bayang-bayang luruh membentuk rupa
suaramu telah sampai sebelum kata lepas tangkai
menyuruki lautan senja

Gemerlap
    gemerlap badai melebur
        dalam sekian damba
pekabaran tanggal satu-satu dimuka jendela.

Hatiku lemah berucaplah
apa arti kekasih apa arti mencinta
sekian tusukan derita sekian waktu
pengorbanan
berapa jumlah.

Keresahan terayun di tiap langkah menapaki
jejak purba yang memenuhi cakrawala tak ku tahu
apa arti mencinta

Bunda Maria, perawan surga
ajari aku jadi gembala

Dari dermaga ke lain dermaga yang sarat damba
kutambatkan sejumlah rindu wujud persembahan
dihatimu - Maria
dihatimu
muara segala muara.

1986
DALAM DIAM

Mungkin engkaulah yang meniupkan angin santer
ketika diam-diam ku injak sabdaMu
di penghujung jalan.

Aku berjalan sendiri kini
diatas kegelisahan yang tiada berkiblat
delapan penjuru angin telenging samudra
dimana Bima menemu dirinya
         dimana Bima menemu hidupnya
                          aku mencari
                aku mencari
dalam kegelisahan yang makin mengendap
dalam detak Sang Waktu tak susut garis edarnya
dalam diam
         dalam tafakur
                dalam Dzikir
                        dalam doa
                                dalam sembahyangku
                                      kepada siapa
Bagaimana harus ku sebut dalam sujudku agar
Engkau senantiasa hadir menjamu langkahku.

Ku masuki longkangan tujuh hari tujuh malam
mati-ragaku tak menampakmu
                        hanya kegelapan
           hanya kegelapan
dalam diam.

Malam ketiga dari purnama ku dengar langkah
menapaki dinding waktu dinding telingaku
pelupuk mata detak nadiku menjelma jadi langkah
gema lima benua tujuh samudra langit dan jagad raya
akupun kebingungan
ketika langkahMu semakin jelas terdengar menjelma
jejak purba
Aku sesambat
suaraku yang nggrantes menjelma mantra memanjati
dinding cakrawala.

Mungkin engkaulah yang meniupkan angin santer
ketika diam-diam ku injak sabdaMu di ujung
gelisahku.
WAJAH

Wajahmu yang luruh menjelma kabut memasuki
pekaranganku yang tumbuh semak senyum
kakekku menghias dipojok sapanya, Amboi
betapa dingin angin utara
keheningan bermakna ganda menguliti sabdaMu
ketika pagi memoles wajahnya
dalam samadi
betapa dekat cakrawala tersaput warna.

Pada akhirnya kuambil jalan pintas
melewati kegelapan dan kegaiban aku berkiblat
meraba dindingMu berkaca lentera
bayangbayang semakin kabur
Aku lebur.

Tapi semuanya jadi bukan
megamega hanya fatamorgana cakrawala menipu mata
semuanya tak bisa kubawa menghadapMu
hanya kekosongan
kekosongan yang senantiasa menghadang.

Sesobek angin menyisir senja ketika usia
hampir saatnya.

1986
KEHENINGAN

Barangkali Engkaulah yang menanam jemari
saat malam menyempurnakan sepi
menyempurnakan keheningan hingga ke puncakpuncaknya
Engkau menyapa dengan gigilMu yang pelan menguak
hening samadi menggelar samudra cahya terang
temaram tiada panas gelap temaram tiada
dingin
menggayuti rasa kantukku yang sembunyi dikaki
kakiMu.

Barangkali Engkaulah yang menanam melati
ketika kakiku menapaki sepi.

1986

KELAHIRAN

Betapa arifnya wajah Bunda yang
menanggung derita akibat sabda
ditiupkannya ke rahimmu suci dan perawan

     Burung dara terbang menyibak awan
     kepak lirihnya ramah menyapa
     demi putraMu Bapa, ku ikut jalan surga
     mengembalakan domba dengan kesabaran
     bagai kau layani aku ketika pertama
     ku minum secangkir anggur dan darah.

Bapa,
perkenankan aku menciptakan Yesus baru
dibawah atapMu juga
dengan suara loncengnya yang merdu mengetuk
setiap pintu yang lelap
tertidur.

Wajah Bunda,
betapa ngungun menanggung derita.

1986
SANG BAYU

Kita lahir dan dipertemukan sebagai dua pribadi satu hati
dari bumi bernafaskan matahari
Aku elang rajawali terbang bebas bermata awas melintas rimba
mencari anak domba berbulu unta menyusup para
mereguk dahaga
padang sendang.
Engkau kelinci kecil, jinak mengendus rumputan
danau bermata bening dari hembusan angin menetes
senyumMu Purba
Anak serigala, merunduk di batang para
dengan kelicikan dengan kerakusan senantiasa memburumu
kedalam bayang
bayang cinta.

Kita lahir dan dipertemukan; bumi terkasih
melahirkan kata mencari makna menautkan hati jadi satu
kesatuan anak lidi
dalam kebersamaan seikat; Menyapulah
bagi kebersihan niat bagi latar
belakang rumah kita, jadikanlah istana.

Kita lahir dengan menyandang perjuangan dipertemukan
untuk menumpas penderitaan
berhembuslah Sang Bayu bagi laju terbangnya
Rajawali perkasa, mendukung anaknya.
Kuselesaikan penderitaan lewat panggraitamu yang awas
kita sepakat kawin sebagai alat pembidik jejantunging ngaurip.
- Kasunyatan kang manjing sajroning susuh angin.

1986
PERTEMUAN

Ku awali perkenalan lewat Adam
dengan bisiknya yang ramah Adam menyuapiku
kelaminnya kepala ular
Adam, Adam aku bukan cucumu yang terlahir
dari dosa lalu menanggungkannya
dengan tangis yang keras menyerupai doa
dengan kawah yang menyertaiku bukanlah cinta tapi hama,
hamamu Adam yang kau tebarkan
diatas benih tanamanmu
Aku anak Maria Bunda terkasih Bunda terpilih
yang menangis kerna dipisahkan dari cinta yang
tersimpan di rahimnya
Yesus mengajariku berdiri mengajariku
berjalan meniti sungai Yordan pertama
ia dipermandikan
sambil mengajariku mengenal kehidudupan mengajariku
menggembala domba
kakiku semakin kurus ditinggal Bapa
diatas salibnya yang tegak menggapai
angkasa cinta kasihmu
tinggal terpaku
di segenap pintu.

Tanganmu telah menyembuhkanku dari luka
kerna tanganmu cinta ucapmu cinta jadilah
Engkau gembala
kerna nafasmu cinta darahmu cinta maka
ku temu jejakmu dalam cinta.

ketika aku ngembara
kutiti jejakmu sebagai gembala.

1985
SEPI PERBINCANGAN

Ketika kau tidurkan aku dengan tembang
ku hapus bayang-bayang yang melekat
dalam detak Sang Waktu menapaki langit
langit kesadaran
menggores cakrawala dengan darah lewat mimpi
lewat gelisah ombak lewat kelembutan angin
lewat matahari membakar gairah: Ach.
Betapa cintanya Ia kepadaku.

Lewat kisi jendela kupandangi kepergianMu
bunga di jemari mengantarkan isyarat asing pagi hari
mengantarkan kekuyuan waktu
yang gagal ku tapaki
Aneh,
Engkau tak juga terluka menyambut belati
seulas senyumMu menebar cakrawala menjelma
mega-mega
( mimpi membutakan kesadaranku )
Ku habiskan hari tua dengan mengenangkanMu
melewati paritparit basah dengan bisik
menebar bunga di sudut kota
Engkau menciumku dekat
persimpangan.

Dalam dingin usiaku
dalam berat kangenku
betapa hangat berdiang dekat tungku.

1986
TEKA-TEKI
 
Marilah kita memecahkan teka-teki malam adikku
setelah melewati ambang gerbang menyusuri waktu
setelah menyepakati duka menjadi milik kita
berbunga tawa sepanjang usia
( lantas kebungahan hatilah yang bicara
  tentang keberadaan manusia yang menolakkan garisnya
  menjemput kilatan badai penghuni dada )

Bergandengan kita menyisir ambang senja
menguak satu mega ke lain fatamorgana
menemu tiada
hingga samodra menggelombang diatas tubuhmu
bentang gendewa melepas busurnya
yang kian susut garis edarnya, O bunga
tembang kinanti tinggal menyusuri rusuk sepi
kembang kantil berbaur bunyi prit gantil
ku tanam chochro kecil di ladangmu
lewat bunga tujuh rupa menuju sumbernya
lewat upacara tiada bermantra menuju muara
gaib dan keramat, yha Allah
ku tuntaskan firmanMu.

1986

Cover Antologi


PRINT AD

Add caption ...