Kamis, 24 Desember 2009

B U M I

Aku senantiasa kembali, menatap langit bertepi bumi
disini, Adam pernah merajut rusuknya dengan buih
pucuk gelombang menghempas cakrawala, O
Bethara Surya - betapa nakalnya
Kunti Talibrata terpanggang diatas bara
telinganya - seorang bocah bermain membentuk gua
(  gelombang datang menyurukkan pasir
   lidah buih Bathara Surya meniti tepian kainnya
   tersingkap angin merona wajahnya )

Yha, jiwaku kanak-kanak
jiwa Kunthi bermain ayunan
tangan ombak menghempas
karang batuan.

Aku kembali berdiri, sendiri menatap langit-langit bumi
dimana terkubur benih kenakalanku. O, perihnya dahaga
ku teguk ludah dari wangi mulut penuh aroma
mengaburkan pandang kesadaranku.

Aku berdiri sendiri kini, bercermin bumi
yang senantiasa aku injak dengan kepala tengadah.

april 22, 1987

T A H U N

Suara jiwa yang mengalun dahaga
rinduku pada kembang - sedap malam
ku tanam setangkai dua di kegelapan
kertas-kertas, daun bayangan matahari
kian tergelincir menyemburat warna jingga
membias wajah
       wajahku
                wajah kita
rona senja mencium kening cakrawala senantiasa
merekah pagi terik siangnya lantas sembunyi
kegaiban
    kearifan
usia terus berjalan melewati malam.

maret 31, 1987

Rabu, 23 Desember 2009

T E M B A N G

Betapa inginku menuliskan tembang tentang awan
muara negeri yang mengalirkan angin keras
dalam rusuk Adam berongga nada - sumbang
mempesona kelana memasuki gerbangnya
     ( bias-bias langit di cakrawala
       aku arungi bersama ).

Barangkali aku mulai menyadari arti
rumah yang kau huni tanpa upacara pagi hari
itu bukanlah milikku
dan pesta setanggi bunga yang ku taburkan di antara kamar
dan altar adalah riak gelombang
membentuk fatamorgana
dan itu bukanlah istana ujung perjalanan dimana aku
menyusuri jejak resia dengan dinding
dindingnya berhias darah air mata
langkahpun jadi sendat dengan tangan senantiasa
menggores-gores kaca hingga wajahku berembun
tak terbaca
akupun terus bermimpi tentang kolam dan taman
akupun terus bernyanyi tentang gelombang dan awan
akupun kian jauh mengembara lantas lupa kembali
rumahku sunyi tanpa hiasan
dindingnya mata beratap mega nafasnya
entah pergi kemana.

Riak gelombang datang berulang
menyurukkan tembang mimpi siang
yang senantiasa aku basahi dengan darah dan kurban
yang tak sempat aku benahi ketika pagi menjelang.

Dengan suara sumbang akupun nembang
tentang seorang kanak-kanak yang meniti hari
dengan menyulam sisa kainnya yang robek
disana-sini.

Oktober 87, revisi desember 24

ASMARA RAMA

Barangkali aku tlah sampai batas
kepasrahanku sekedar wujud rasa putus asa karna
bagaimanapun rendahnya langit bumi tak kuasa
'tuk menggamitnya
hanya kening malam yang kelam hitam
bagai sosok kemesraan dan akrabnya bebayang
cinta dalam kegelapan saling menyembunyikan tangan
dengan irama gaib menggelepar debar
buah Adam - gairah, cinta sama wujud
menara api bagi Shita di puncak asmara Rama
bara panas yang menjilat angkasa adalah wujud
kesetiaan dan kesangsian yang berebut
          keangkuhan - kebenaran
terasa begitu samar ntuk diperbincangkan
dan langit kian hitam hanyalah saksi dan selalu
jadi saksi
tentang keangkuhan yang senantiasa mengaburkan arti
kebenaran.

februari - september 1987

D E W A R U C I

Yang tak terpegang itu dingin angin
tiada berdaging ding - ding - ding
darahnya mengalir di angkasa bunga
tujuh samudra kedalaman diamnya
cahya delapan di keheningan henengnya
- kang ijo maya-maya tanpa rupo
  kang sepi sepa samun tanpa swara
  tan kiniblat araning Rat
  yha kang sidem premanem ayem tentrem
  tan bungah tan susah tan gumragah alaming
                                Rah
                        Rah kang Roh
                        Roh kang Rat
                        Rat kang Dat
kabeh bali ing telenging samudra
kuping kiwa.

februari 19, 1987

Jumat, 18 Desember 2009

BENIH

Dengan tangan-tangan lentik dibentuknya
seekor merpati dengan kepak belati
menebar di cakrawala menjelma pelangi
yang siap mengolah tanah jadi ladang padi
membalikkan tangan mengalirkan lahar api
meluapkan kesuburan dan kegersangan
dalam satu genggaman.

Ia adalah Ruh Tuhan yang menciptakan
seisi bumi dengan setan dan imam
Ia adalah Sang pembidik kearah mana
benih ditebarkan
Ia sang pengolah hidup dengan Rahim Tuhan
yang menghembuskan nafasnya disisi telinga
hingga gairah tak jadi padam dan hidup bagai lautan
dengan matanya yang elang ia mengajari terbang
melintas badai menembus awan mencari
kasunyatan.

Ia adalah sang Hidup
Ia adalah sang Mati
kearah mana ladang benih ditebarkan
nafasnya bernama bumi.

desember 11, 1985

ALTAR CEMARA

Ada berapa entah tercecer di jalanan
tak kuasa aku pungut senantiasa ada
dalam pelukan
O, andai dapat kurapatkan impian dan kenyataan
barangkali kenangan bukan sekedar sulaman
yang tiap detaknya menggoreskan luka
bait-bait puisi bakal mengepakkan sayap
melewati ambang fajar menguapkan embun di daunan
selangkah lewat kita biarkan tanpa makna
( kita saling bersitahan dalam kedinginan malam )
cemara natal menderaikan daun-daun sepanjang jalan
aku tak kuasa menjumputnya, juga kau
tangan-tangan sutera
entah apa sedang kau lukiskan dengan untai melati
yang tiap saat kita tebar pujapuji
entah berapa darah menyimbahi latar suci
yang tiap saat kita basahi dengan berahi
buah adam kita makan sambil menyembunyikan tangan
O,
betapa kita bisa bernyanyi di kebun hawa
tanpa lukaduka menggores wajah kita.

Derai-derai cemara telah kita lewati
seperti mengecup altar suci sambil onani
(kita masih berdiri tegak, terasa enggan turun dari taman ).

desember 5, 1998

J A L A N

Burung hantu yang bersuara dari hati
kian tajam merambati hari
di luar, bulan terang
menggerakkan angkup nangka diatas pusara
barangkali perjalanan akan berakhir disini
atau akan terus mengembara ke padang hingga
menemu fajar sebuah negeri
tapi surga bukanlah surga bagi Adam tanpa rusuknya
dan negeri (pun) hanyalah impian pengembara
sedang burung menemu kebebasan dalam sarangnya
lantas untuk apa pergi untuk apa mencari
kalau dalam diri tlah ada segala
surga dan neraka mengintai di baliknya
sebuah tabir
begitu jelas nampak hampa ketika dibuka
dan kita tak perlu bertanya.

januari 2, 1987

S A L I B

Ketika ku tatap salib
tak kulihat denyut tuhan
seraut wajah terpaku di tangan.

Ketika ku tatap ulang
seonggok daging dengan darah membentuk lubang
lengkap dengan duri di kepala.

Lantas ku tadahkan tangan
membasuh wajah lewat lambungmu
sambil menggumamkan kata di depan salib
"Ternyata Engkau manusia disaat akhirmu"

januari 3, 1987

JENDELA

Gerimis di luar, dinginnya tertahan di jendela
buram,- aku berkaca
( bunga hitam di bingkainya )
melintas seraut wajah, menghuni rongga
"engkaukah itu ?", seokor kucing mengeong di muka pintu
( pelan malam menyelimuti tubuhnya jelaga )
"Akukah itu ?", musik mengalun pelan ditingkap suara serangga
( malam kian merayap membenamkan tubuhnya kelam )
betapa akrab sosok dengan bayangnya dalam gelap.

Ku rapatkan tubuhku di jendela
dan bayangan yang memantul membuatku
tak ingin berkata.

januari 4, 1987

G E R B A N G

Sepi merayap memasuki gerbang kota
menggoyang-goyangkan nyala lilin dalam kamar
membentuk ceruk yang dalam
aku diam-mengetuk-ketukan jari di jendela
suara langkah mengendap pelan seirama detak
jam dinding kian keras mendekap kesunyian
kamarku – aroma sedap malam
langkah kian mendekat – langkah-langkah kami
berjalan diantara gerbang-gerbang kota tengah malam
menelusuri lorong dengan tembok kanan-kirinya
kian menyatukan langkah kami dengan semesta
( saat itu terasa, betapa perlunya saling melindungi )
di luar, angin membeku dalam kediaman
kami tak lagi
membutuhkan kata.

januari 5, 1987

K A B U T

Barangkali kabut tlah mengendap di kudukku
saat malam merayap demikian perlahan seirama detak
darahku begitu dingin meraba pintu
"siapa diluar ?", ku toleh sekelilingku
( dinding-dinding menatap beku )

Tiba-tiba aku disergap ketakutan pada entah
denting piano memantulkan rindu serigala
akupun bernyanyi bersautan dengan dinding
mangatasi waktu hingga tak ku kenal mana
suara mana gema
aku terdiam – dinding-dinding terus bernyanyi
mengulang-ulang suaraku dari awal kembali mula
mengetuk-ketuk hela nafasku
dan kabutpun terus mengendap dengan tangannya
siap menerkam di belakangku

januari 6, 1987

D A U N

Pagi yang menetes dalam ruangku bagai bebayang
memantul di jendela
biasnya terasa buram menggarut kaca
desir angin menggoyangkan daun cemara
berderai jauh – erat menggenggam
tetes-tetes air membentuk kubangan.

Selembar daun luruh
melayang pelan mengucap pamitan
dan getah yang menetes dari dahan
begitu pekat dengan kenangan
sebuah keharuan menyelinap dalam kebersamaan
bukan sekedar pertemuan perpisahan
ia melekat di dahan walau daun
tak lagi berpegangan.

januari 8, 1987

P I N T U

Aku ketuk pintu pagi-pagi ketika jendela
belum membuka matanya
serumpun mawar berselimut embun di kelopaknya
"selamat pagi adikku, hujan fajar bakal menyambutmu
di pintu, tetes-tetes air membentuk kubangan
barangkali jalan akan menjadi licin
atau barangkali kita bisa bercermin
dengan wajah menggelombang".

Aku ketuk pintu pagi-pagi ketika kupu-kupu
belum mengepakkan sayapnya dan burung
belum menyelesaikan kicaunya
( engkau menggigil saat angin mengusapkan
jemarinya di wajahmu )
pelan-pelan aku menyelimutinya.

januari 11, 1987

PRASASTI

Ada guratan kecil pada sebuah prasasti
tentang jalan simpang yang bakal kita lewati
"kita perlu singgah".
ucapmu sambil menghembuskan nafas kuat-kuat
"sebelum melangkah menentukan arah".
- angin berhembus disisi kainmu
senja yang tinggal sesobek menggantung di cakrawala
( ingatanku melayang pada Bunda Maria
  wajahnya yang perawan menuntunku di pematang
  dalam kegelapan ).

Dan pada usia dewasaku yang hampir sampai ujungnya
aku belum mampu menanamkan benih bagi pohonan baru
dengan akar-akar yang kuat mencekeram tanah
serta daun yang lebat menyembunyikan kerindangan
wajahku,
yha wajahku yang tinggal sesobek senja
masih menggantung di cakrawala
( langit kian muram dalam detak jam
  kegelapan dengan setia menanti kehadiranku
  kembali dalam pelukannya ).

januari 31, 1987

A L A M

Biarkan kelopak memekar dan putik
menebarkan wangi aroma di tamannya
karena anugrah alam seiring dengan hukumnya
terik mentaripun akan turun diselimuti senja
yha, kenapa kita harus bermenung-menung
mereka-reka bentuk impian ?
mawar tak akan menjadi anggrek
dan rajawali tak akan menjelma merpati
betapapun kita memberinya jagung dan bulir padi.

febuari 1, 1987

Kamis, 10 Desember 2009

B A T A S

Engkau awan aku lautan
angin menerbangkan angan
berarak
angin menggelombangkan buih
ke puncak
gemuruh suaraku terus memanggil
mengkais-kais pasir tepian
gemeletar tanganku menggapai
lantas luruh tak sampai
gigil kerinduan diam
di kedalaman.

september awal, 1987

P E T A K

Sungguh, keberaturan yang aku jalani
bukanlah keberaturan menurut tatanan
aku melangkah dari satu petak ke petak lain
yang di tiap persinggahan menemu kebebasan
Sungguh, aku ingin memeluknya
sepenuh pelukan aku rapatkan bagai orang lain
rapat memeluk tatanan, yha
ternyata keberaturanku ada dalam kebebasan itu sendiri
dan tujuan yang aku canangkan semenjak dini
aku biarkan bebas mengelana hingga menemu
sumberNya.

september 241987

K A M A R

Ruangan ini,
dimana dinding-dindingnya berdiri kaku
aku menyulam di dalamnya
lewat rusuk Adam aku menjalin cerita
tentang kegagalan langkah dan duri
yang terserak di jalanan.

Rusuk kananku adalah teman melepas kaki
dari tiap sandungan, langkahpun menjadi ringan
dan ketika rusukku patah, aku terus menyulam
sendirian
mengunci mulut dan relung kamar
dinding membentuk lukisan.

Ruangan ini,
segalanya terasa sempit dan pengap
pikiran tentang langkah dan arah ku letakkan
dan gerak yang terbentuk karena kehendak
ku jalani dengan jiwa pasrah.

september 25, 1987

KALAULAH

I.
Kakiku guyah hilang keseimbangan
dalam relung sepi yang sunya
padang tiada tepi
tiada cakrawala langit bumi
dan matahari
terang tiada gelappun tidak
entah apa.

II.
Kalaulah sinar
bukanlah cahaya yang keluar dari sumbernya
kalaulah terang
semuanya tampak serba maya
kalaulah ku kenal diri
masih ada yang menyelinap lepas
membidik matahari.

III.
Kalaulah tlah ku temu
semuanya tak ada dalam genggaman
kalaulah belum
aku sudah
kalaulah sudah
akupun masih entah
yha Allah
kiri kanan atas bawah bukanlah arah
dan yang terlepas bukanlah anak panah
yang melaju menuju sasaran
tapi sasaranlah yang membidik kita
hingga segalanya jadi tiada
nampak jelas di relung-relung samudra.


oktober 18, 1987

ASMARA SHITA

Ketika Rahwana bangkit dari dalam dada
ku rasakan kehidupan mengaliri darah
lantas ku rentangkan tangan menebar aroma
keyakinanku pada Shita yang terpana
kijang kencana memasang jeratnya
O, wanita mana yang tak tertarik pada kilaunya
sejangkauan hasrat bakal teraih jinaknya
" Wahai Rama kekasih, berikan padaku
   kijang kencana bukti cintamu padaku".
Sebagai lelaki Rama tertantang keangkuhannya
melesatlah ia dengan meninggalkan waspada
O, wanita senantiasa penuh prahara terbangkit dari mimpinya
desir cemara menggoyahkan langkah Rama lantas di angkatnya
Lesmana dari dalam rimba memahatkan syair bagi Kakanda
mengantarkan kepergiannya memburu kijang kencana
sumber prahara.

Kijang kencana dengan kegesitannya, mengaburkan langkah Rama
hingga ia kian jauh mengikut angin kembara
Shita Sang Putri penuh hasrat membara terbangkit kecemasannya
saat mentari kian memanjat pucuk-pucuk cemara
diutusnya Lesmana mencari jejak Sang Rama yang kian kabur
dalam kegelapan rimba
kebimbangan meraja di hati Lesmana, lantas perang
kepatuhannya pada Shita Sang Putri mengajaknya pergi mencari
ketaatannya pada Rama Kakanda menyuruhnya untuk menanti
di puncak pertempuran iapun diam
sambil meggores-goreskan jarinya ke bumi, terbakarlah
keangkuhan Shita
sebuah Gita menggeletar di cakrawala
" Wahai Lesmana adikku,
   barangkali ada suara di balik getar kata-katamu
   dengan kepergian Rama Kakanda mengejar buruannya, Engkau
   melantunkan tembang di taman dewasamu dengan tatapan
   melekat di kainku
   adakah sesuatu yang memberatkanmu hingga kau
   tak beranjak dari tempatmu ?
   Sementara Rama Kakanda memeras rimba memburu kijang kencana
   Engkau mengipas-kipaskan angin pagi menyulam mimpi
   bagi hari-hari bakal lewat bersamaku
   itukah persembahan baktimu, hai Lesmana ?"

Awan merah mengeliat di angkasa, tengadah
diteriakkannya bait-bait mantra pengukuhan baktinya
"  Lihatlah Shita Ayunda,
   Ku angkat syair perjalananku selanjutnya
   Lesmana bakal melangkah sendirian
   mengarungi samudra kehidupan
   Lesmana akan sendirian dan akan terus sendirian
   tanpa rusuk kanan dalam genggaman
   demi baktiku pada Rama Kakanda dan Shita Ayunda
   yang telah dibutakan kesadarannya
   dengar hai langit, dengar
   barangkali nyanyian ini mampu membangkitkan kenyenyakan
   Shita Ayunda dari keangkuhannya
   bangkitlah wahai,
   Lesmana masih awas pandang matanya dalam rimba
   gelap dan menyesatkan
   aku masih mampu tegak dari hempasan nyanyi surga,
   jangan cemaskan kepatuhanku pada Rama Kakanda
   Aku turutkan perintahmu Ayunda Shita
   sebagai bukti kekosongan jiwaku dari mimpi surga bersamamu".

Lantas dicabutnya pedang menggurat rajah
Kalacakra tergambar di punggung tangannya
Lesmana Adinda terluka
       darah mengucur dari lambungnya
dibentangkannya kaki menebas belantara mencari Kakanda
dari mulutnya keluar mantra-mantra mengaliri malam jelaga.

Dalam rimba Shita Sang Putri merajut kecemasannya
tetes-tetes darah yang tercecer dari lambung Lesmana
menjelma sendang yang beriak di dalamnya
kebeningan airnya memantulkan kemasgulan wajah Shita
"  Aku tlah keliru mengurai makna" gumamnya
"  Kekagumanku pada anugrah Dewata memburamkan kilau belatiku
   hingga ketajamannya mengoyak lambung Lesman, O Dewata
   anugrahmu tlah membuahkan luka".
tetes-tetes air keluar dari pandangnya membentuk genangan mutiara
seorang Brahmana, muncul dengan kembang setangkai di tangan
" Wahai Shita Sang Putri, hapus air mata dan lihatlah
  keceriaan di tanganku adalah bunga-bunga
  setangkai di putik tergambar kereta kencana
  yang bakal mengantarkanmu menuju kerajaan Dewa".

Shita yang wanita, tergoda wangi cempaka
keharuman menggelitik tangannya meraih bunga
kilat menyambar Shita, terlemparlah ia dari lingkaran Cakra
jeritnya tertinggal di awang-awang
menjelma nyanyian malam.

Asmara Shita menggelepar di cakrawala
suara angin yang melenakan tlah mengkoyak bahtera mimpinya
hingga yang terjelma kemudian adalah tangis berkepanjangan
membumbung bersama api yang membara dari dalam dada.

januari - agustus, 1988

Rabu, 09 Desember 2009

TEPIAN

Kamar, dimana pintu-pintunya tertutup rapat
aku terbaring diam memeluk awan yang menggumpal
dalam dada
disini, kenangan begitu deras mengalir dalam darahku
bagai gemuruh ombak membentur karang tegar di tepian
keyakinan pernah kami pahatkan pada dinding bisu
ketika angin mendedas pertahanan kamipun runtuh
menerbangkan angan kami melewati batas negeri
dimana pantai-pantai menghempaskan kami
dalam kedamaian tiada tepi
sebuah kebersamaan telah kami arungi disini
hingga kami merasa tak terpisahkan menapaki waktu.

Kini aku sendiri menyisir pantai melabuhkan sepi
segalanya telah berakhir disini
tinggal kenangan dan kerinduan terukir di pasir
tepian.

parangtritis jelang ultah, 1988

TUNGKU API

Kabut yang mengendap dari waktu
menjelma bayang tak ku tahu
sejak kapan menghuni ruangku
bagai tanaman ia tumbuh
merambati nadiku menetes
embun
pagi sekali
bahkan terlampau pagi untuk berteka-teki
siapa menjelma dalam hati
kala sepiku merindukan tungku api.

juni 4, 1988

FRAGMENT (seusai pertemuan)

Aku berdiri di atas panggung menonton
wanita yang aku cintai berdialog tentang diriku
di belakangnya, seorang wanita dengan menara gadingnya
ponggah menggapai-gapaikan tangannya ke angkasa
sungguh,
ini sebuah pertunjukan yang barangkali
mampu menina-bobokkan diriku ke dalam mimpi
dengan belati mencuat di punggungku.

Aku tidak beranjak dari tempatku berdiri
di atas panggung yang menawarkan berjuta fantasi
segalanya memang bisa terjadi dan mungkin, sebenarnyalah
aku rindukan sebuah tikaman langsung menghunjam ulu hati
tapi tidak di atas panggung seperti ini
aku tak ingin membela diri betapapun pedihnya
darah membasahi tubuh sendiri.

Akupun terus berdiri menanti pertunjukan usai dan pemain
kembali memerankan dirinya dengan sarang laba-laba
membentang di belakangnya
akupun menggelar layar baru bagi sebuah babak yang
belum terselesaikan
inilah panggung sebenarnya bagi kita
membuka-buka sejarah lama hingga terdampar dalam bejana
menelanjangi kita
kenapa kita merasa asing dengan diri kita sementara
kita mampu berperan sebagai orang lain sedemikian baiknya
kenapa kita harus menina-bobokkan di singasana
sambil diam-diam memasang jerat di lehernya ?.

Ach adikku
janganlah terikat oleh cerita yang pernah kita buat
ketika masa remaja kita belumlah bulat
tinggalkan panggung ini dan berbuatlah sesuatu
barangkali ada sebuah negeri yang mampu mendamaikan
meneduhkan dari badai terik matahari
sementara biarlah aku tetap disini merenda keyakinan
yang kian lama kian tebal menyelimuti hari-hariku.

Aku masih terus berdiri, walau pertunjukan tlah lama berhenti
di depan cermin diri terasa begitu nikmat
sambil menikam-nikamkan belati ke jantung sendiri
ku persembahkan kepadamu
secarik kertas yang koyak-moyak bertuliskan darah
mengucur dari lambung kristus
barangkali ini jalan terbaik untuk mengakhiri perjalananku
begitu bukan adikku ?

Subuh, jelang 15 juli 1988

W A J A H

Ku rengkuh kedamaian bukan kerna apa
melainkan sebagai sarana persembahanku pada yang kuasa
yang mampu menggelorakan tanganku hingga tercipta
                                  wajah surga
yang mampu menghentikan gerak bumi hingga tercipta
                                diam temaram
    yang mampu menjaring angin hingga terjelma
                               puncak hening
                                     disana
           tubuhku lemah terkurung kaca-kaca
                   tanpa pintu di dindingnya
                              aku mengaca
                                duh Tuhan
                  ini jiwa dahaga senantiasa
         ku luruhkan sujudku tak menemu apa
      ku tuntaskan firmanmu tak sebatas mega
hanya fatamorgana menggantung di pelupuk mata
          ku rengkuh sejangkauan tak sampai
                    luput darai tangkapan
                   kian jauh di atas awan
         menerbangkan jiwaku yang rawan
                          dari sentuhan
                            tanganMu
                           yha Tuhan
                             ulurkan
                                 .

agustus 5, 1988

MATA

Nanar mataku
mengaburkan lafal mantra
menjelma banyak jalan
tak ku tahu mana kan sampai tujuan
terdekat dengan langkahku
tlah lelah ku mencari        
     tlah lelah             
           ku berlari
                   tlah lelah
                           bersimpuh di kaki
                                   duh Gusti
haruskah ku berhenti sebelum ku temu                
ataukah terus mencari sampai akhir perjalananku
kebimbangan ini kian memberati lanhkah         
sementara yang ku cari                                       
terus berputar                                                      
melingkar                                           
dalam benakku.                 

agustus 6, 1988

BUAH

Bakti karma dan kesetiaan terasa begitu samar dalam tatapan
serangkaian persembahan hidup yang berputaran kait mengkait
tanpa satu kepastian.
Sebuah upacara, serangkaian sesaji tanpa hati adalah
kesia-siaan yang terpelihara di dalamnya termuat
beban tak terhindarkan,
Oleh nasib kita dibedakan dalam tingkatan
oleh kewajiban kita dibedakan dalam kesadaran
hingga bakti itu tetap berujud bakti tanpa makna
sangsi dibelakangnya adalah karma buah dari
ketidak-setiaan kita pada nurani.
Hidup perlu keberanian
keberanian bersikap, bertindak dan memutuskan permasalahan
mengolah hidup adalah mewujudkan impian menjadi kenyataan
dan kenyataan haruslah dihadapi dengan mata terbuka dan dada
bukan lewat kata atau nada
tapi ia bersuara membawa gema
betapapun lirihnya ia.
Bakti dipermukaan adalah pembunuhan secara perlahan
karma datang dari diri kita untuk diri kita
sedang kesetiaan adalah tanggung-jawab yang dipertahankan.

desember 11, 1985

CAGAR ALAM

Jakarta bukanlah tempat memanja adikku,
melainkan pikir
dan pikir senantiasa menyentuh permukaan sedangkan rasa
ada di kedalaman
laut senantiasa berombak beriak di permukaan
tenang diam di kedalaman abadi senantiasa
walau badai mengguncang
dan akulah penghuni kedalaman yang setia
merengkaki relung karang jengkal bebatuan
dasar samudra
tak setiap orang berani memasukinya.

Jakarta adikku,
airnya begitu beriak menampar-nampar wajahku
alam pikir penuh akal menyelimuti waktu
yang tiap detaknya saling memburu
aku ingin tegak dalam diamku
tiap bidikan senantiasa mencari kelengahan
dan rambutku yang panjang menggeriap
di hembus badai segala penjuru.

Jakarta adikku,
adalah cagar alam bagi satwa
aku ada disana tapi tak bisa
masuk kedalamnya.

desember 7, 1985

Jumat, 04 Desember 2009

LAUT

Aku yang gelisah menggapai dalam kediaman
adalah kerinduanku pada langit yang membentang
menaungi cintaku yang jauh terbenam dalam
fatamorgana.

Pelangi senja bagai kabut mimpi mempertemukan
angan-angan yang di rajut kelam
barangkali benar, sebuah penantian akan berakhir
dan pertemuan bagai cakrawala yang tertangkap mata
akankah cintaku bakal sia-sia.

Ombak terus bergerak mengejar bayangnya
mencumbu langit yang terpantul di kedalaman diamnya
barangkali aku,
menunggu langit runtuh kedalam pelukan samudra
tanpa aku merasa sia-sia betapapun langit
kian jauh di angkasa.

parangtritis, jelang ultah '88

LANGKAH

"  Aku kawulo lelananging nDonya
   munggah samudra mbukak lawang kencono
   ngudi kanugrahaning jawata mlebu kraton
   Giri Kumolo
   ambedah swarganing Dewi Pertimah
   lepasing panah tumiba ing lemah
   saka lemah anggegaru sawah
   Rohku manjing sajroning Rah
   Rah - Rah - Rah
   samudra kawah sukmaku tinadah
   jabang bayiku dumadi
   jabang bayiku cinandi
   dadi dadi saka kersaning Gusti Allah"

Dalam kelelapan suara mantra yang bening
tangan-tangan kecil menyeretku kedalam suasana asing
sambil meniupkan nafasnya ke wajahku
" Wahai lelaki perkasa yang mampu menjinakkan
  badai dan prahara, akulah buah keperkasaanmu
  muncul dari buih ciptaanmu saat pelangi turun
  dari ufuk senja menghirup nafas surga
  ku dambakan sebuah pelukan dari tanganmu yang dulu
  ku kenal begitu kokoh menghempas-hempas
  karang batuan"

Ach, ternyata aku belum siap menjadi lelaki yang mampu
mengkais-kais pasir mencari jingking dan sisa kerang
pupuk bagi tanamanku yang terlanjur tumbuh dari
Rahim Maria
Bunda perawan dimana cintaku tersimpan.

Dan ternyata aku belumlah lelaki
yang mampu memadamkan prahara
yang senantiasa menggelora membuncahkan pandang
kesadaranku.

Kesadaran pada hidup dan riak keseharian
membuatku terus bertanya tentang susuh angin
jantung ngaurip
          dimana letak ?
di pusat prahara ataukah atau dalam goa hening sapa
dimana segala kehangatan dan kesejukan berpusat
dimana segala tumbuhan runduk di hadapanNya
barangkali yha.

Dalam pengembaraanku yang berbekal hasrat sesekali
tersuruk mengikuti suara Durna yang aku kira
Guru Sejati
atau barangkali aku harus mengikut langkah Bhima serta tekad
tak sekeras baja langkahku senantiasa
mengikut suara gaib penuh pesona memanggil.

Akupun berendam dalam sendang sambil mendengarkan
nafas surga yang muncul dari mata airnya
sendang yang senantiasa membuatku dahaga
senantiasa membuatku ingin kembali
ke pangkuanNya.

Barangkali disini jiwa Maria bersemayan
tempat dimana rasa gaibku tersatukan lantas bersama-sama
menuju pangkuanNya
atau barangkali ini sebuah kurban bagi perjalananku
yang panjang dan melelahkan kerna kebosananku pada
langkah itu sendiri.

PRINT AD

Add caption ...