Rabu, 14 Oktober 2009

Cho Chro Tri Laksono dalam PENGEMBARAAN, sebuah Antologi

PRAKATA

Pada awal-mulanya, artinya ketika manusia masih utuh, belum terpecah-pecah dalam watak dan karyanya, maka fungsi seorang agamawan, seorang ilmuwan dan seorang seniman, masih dirangkap, masih bersatu-padu, belum mengalami diversifikasi. Dan semua kegiatannya itu bermaksud untuk meraih, atau sekurang-kurangnya menggapai “the ultimate reality”, hakekat dasar kenyataan. Demikian dikatakan Edward Shills, seorang ahli sosiologi dari Amerika (lihat buku antopologi lain: Golongan cendekiawan).
Dalam antologi kecil ini kita berjumpa dengan lambang-lambang bahasa berupa puisi yang ingin menyuarakan pengembaraan seorang muda untuk meraih hakekat dasar kenyataan itu. Dan pengembaraan itu dilatar-belakangi oleh tradisi Kejawen, tradisi Kristen dan tradisi Islam.
Pemuda ini menggali dalam khazanah kebudayaan bangsa kita untuk menemukan sarana-sarana guna meraih hakekat kenyataan tersebut.
Apa gunanya? Limabelas abad yang lampau Agustinus telah memberikan jawaban terhadap pertanyaan tadi. “Noverim me, noverim The.” Semoga aku mengenal diriku, semoga aku mengenal DiriMu, ya Tuhan. Identitasku yang sejati baru ku ketahui didalam terang cahaya Tuhan, Nur Illahi. Dan identitasku yang sejati bagi orang jawa berarti warisan leluhurnya, alam pikiran dan perasaan kejawen.
Ini bukan semacam “escapisme”, pelarian dari dunia nyata. Justru ini berarti mau mencari hakekat kenyataan, mencari apa yang tersembunyi dibelakang kulit gejala-gejala yang disentuh oleh panca indera kita dalam hidup sehari-hari.
Semoga pembacaan Antologi ini membantu kita masing-masing dalam pengembaraan kita juga untuk mencari dan menggapai, kalau tidak meraih, “the ultimate reality” itu.



ttd



Dick Hartoko
Ketua Yayasan Karta Putaka
PARANG KESUMO, JELANG SURO

Kucari Engkau, yha
kucari
     di sela debur ombak
           di sisa dingin hujan
                di pasir-pasir basah
                      aku ingin menyapa, aku ingin
                                                    bersama
                      dalam dingin peradaban
             dalam hitam kopi malam
dalam banyang-bayang kematian
membuka resia kehidupan
       mengolah langit dan samodra
             mengolah suara jadi rupa
                   mengolah bayang jadi bentuk
                          dan mengolah hidup
                               kehidupan
selalu kalah dalam percaturan.

Kucari Engkau, yha
kucari.

1981
MALAM
(sepi perbincangan)

DI PINTU PEKUBURAN KU LIHAT TUBUHKU RENTA
BERKUTAT DENGAN MAUT, BEREBUT USIA

Suara-suara dalam gelap mengibarkan tirai putih
bergumpal lalu sinar turun
menyambut kedatanganku.
" Engkau sendiri disini menunggu keajaiban,
menghabiskannya kemarin dalam kitab engkau
menginjak dengan mulut menularkan sengsara
kerna lupa sampai dimana kekuatan kata".
Aku terduduk melihat pemberontakan, ruhku putih
segumpal kapas menyelimuti jasad.
" Lihat, betapa kecil ia Sang Aku Guru Sejati
betapa kecil ia jagad di pangkunya
rumah yang kau huni jalan yang kau lewati
warna berbaur dalam diri. Ku bawa Engkau
Rahsa jati tahta Tri Purusa".
Aku terduduk merenungi cermin yang kemarin
dalam hening dalam heneng ku masuki jejantung
ngaurip jejantung kalbu.
" Ku buka kesadaran kerna engkau
menggenggam kepercayaan menyimpan kesetiaan
kerna engkau berbekal keyakinan maka kau
pasrah di kaki-kakiKU
Engkau telah menerima hidup sebagai kasunyatan
dan penderitaan sebagai jalan
benar yang engkau tempuh
memilih hidup menderita atau menderita
penderitaan sebagai penderitaan atau
penderitaan sebagai ujud pencapaian
Tolehlah dirimu".
Suara dalam gelap menyibak tirai lalu sinar
menuntunku. Menghapus bayang-bayang.

DI PINTU PEKUBURAN KU LIHAT TUBUHKU RENTA
TERSENYUM MELEPAS KEPERGIAN. ALAM LANGGENG.

INNA LILLAHI WA INNA ILLAHI ROJIUN.
TUHAN, AKU MENGHADAP

Tuhan,
aku menghadap
dengan kaki gemetar tangan terkulai
di pangkuan menghitung jari dari bilangan dosa
membangun menara diatas neraka
kerna kelahiran adalah penderitaan, kehidupan
menjelmakan penderitaan, lalu menyelesaikan
     : Dan kematian adalah ujud
       penyempurnaan.
Gemetar do'aku kerna tanah terjanji, dalam ketakutan
sangsi-sangsi, sebuah ajaran
ingin kuhapuskan semua perjanjian dari awal kelahiran
aku bersikap
berangkat dengan keterbukaan, membenturkannya
     : Al Kitab, kehidupan, akal, adala ujud
       kebijaksanaan.
Berjalan menurut suara Sang Gaib, merangkulnya
Alam luas kembali ke Aku
     kehidupan kembali ke Aku
          Al Kitab kembali ke Aku,
                      Tuhan
dengan kaki gemetar tangan terkulai di pangkuan
aku menghadap sebuah
peradilan.


1982
TERMINAL SATU

DENGAN KEBIJAKSANAAN TUHAN
MENIUPKAN SELEMBAR RUH
KEDALAM DARAH
KEDALAM DAGING

Buah yang engkau turunkan padaku
ayat-ayat
belum lagi masak untuk persembahan
sore hari.

Dibelakang rumah kita
mengolah hidup
ayat kehidupan lebih keramat
dalam mati.

Mati sebelum mati
mengenyam matahari
Baitullah
dalam diri.

Diri manunggal ing Gusti
terbuka jarak terbuka jawab
usia tak dapat mengalahkan
Kelanggengan.

Hening
Heneng.


TERMINAL DUA

DENGAN KEBIJAKSANAAN TUHAN
MENIUPKAN SELEMBAR RUH
KEDALAM DARAH
KEDALAM DAGING

Buah yang engkau turunkan padaku
ayat-ayat
belum lagi masak untuk persembahan
sore hari.

Dengan keterpaksaan, mereka
mengolah hidup
kewajiban, ayat
sangsi ditumbuhkan.

Yang terwujud kesadaran adalah
pasrah
yang terwujud kewajiban
ketakutan sangsi.

Pasrah dalam manembah
membuka kunci kesadaran
ayat tak lagi wujud sangsi
kewajiban.

Sunya
Ruri.


TERMINAL TIGA

BUNGA MADMA MUHAMMAD
MENERIMA SABDA
AKU BERKENDARA

Malam sepenggalah bulan Sukma
larut nafas dalam cinta
tumbuh membentuk Aku
dalam tidur yang jaga
bayang-bayang Cinandi.

Hening bening buga madma
aku berkendara mengetuk samudra
mengetuk langit mengetuk kegelapan
mengetuk segala pintu lalu
bersimpuh.

Luruh haru segenap rindu
ku tenu Nur pijarMU
sejuta nikmat terbuka : Jawab


TERMINAL EMPAT

Inilah hari yang pernah terucapkan
melewati lorong gelap pekuburan sepi
suara tapak suara bisik jerit tak nampak
tulang
pucat wajah menyulam sesal bagai anjing
diam
(sepi semata)

Inilah lonceng dari langit katedral. Merdu
bagai ayunan maut menjemput suara jubah
menyapu lantai dengan senyum mengetuk
pintu dengan darah menyeret langkah.

Inilah padang perburuan
wajah nanah gelisah darah
mahkota tanggal keangkuhannya
(cangkem kari wiso moto tanpo cahyo)
Aku berjalan menyibak, tak ku kenal wajah.

Ku bentang lidah bagi sirothol Mustaqin
meniti jalan perimbangan hidup-mati
suara melengking, alunan musik, tangan lunak
menuntun kearah pintu : Ya Allah !
Aku pasrah.

(sinar kuning kehijauan memancar di pusar)
Amin.

1982
TADARUS
(seusai tarawih)

Embun meluncur dari mulut tercium bau
ludah. Sesudah mengenyam segenggam kitab
lantang berucap tentang hidup tentang
Tuhan tentang surga tentang janji
tentang sangsi
( atas nama Tuhan menghalalkan cara
meletakkan kuasa )

Kitab adalah buah apel segar
dimakan isinya dikupas kulitnya
Kitab adalah durian harum
dibuang kulitnya dimakan isinya
( para sufi memakan sarinya
memakan intinya )

Kita terlampau sibuk menyandang atribut
sebelum berperang menghunus pedang
membunuh musuh sebelum sempat
mengencangkan ikat pinggang.

Jangan lawan pedang dengan parang
lawanlah dengan ayat sebagai kau
nggembol jimat
jangan lawan dendam dengan kesumat
lawanlah dengan takbir sebagai puja
puji keramat
( Putra Allah tersenyum
dicincang Yudas
disalib Herodes )

Marilah kita berwudhlu bagi hati
berpuasa bagi nafsu dan mengaji
kasunyatan.

1982
AKUKAH ITU ?

Bayangan Aku-kah itu ?
yang melintas di cermin dan menggapai
tangannya
di pekuburan sepi.

Bayangan Aku-kah itu ?
yang selalu bertanya kepada siapa
untuk siapa
di tanah mati.

Bayangan Aku-kah itu ?
berwajah pucat menghitung hari
mengenal asal
kapan kembali.

Bayangan Aku-kah itu ?
duduk diam hening sepi
di Paramadma
sempurnakan diri.

Bayangan Aku-kah itu ?

: Hampir-hampir aku tak mengenali.


1982
LAGU PERSEMBAHAN
: kepada kawan seperjalanan

NUR KEKASIH
LAHIR DARI BUNDA TERKASIH
MENGULURKAN JARI DI PINTU PUTIH
LAGU BURUNG PEDASIH

Terbaring aku mengenang
mereguk malam demi malam memburu kata
tak sejemput punya makna
lupa aku mengenal wajah diri
mengenal rusuk Adam. Tuhan
tiupkan nyawa : Aku mengaca

Telanjang aku mencium kaki
tahta surga daun terkunci pintunya
di hitam rambutmu, kabut
sembunyikan jarinya
betapa sempurna.

menyentuh tanpa meraba menyapa tanpa bicara
menjawab tanpa ditanya
( dihadapanMU kata kehilangan makna )
dengan keterbukaan penuh kejujuran
dengan kewajaran penuh kesabaran
dengan kesadaran penuh kebijaksanaan
dengan segala kekurangan ku persembahkan
: Hilangkan persangkaan.

Rindu, ku peras darah
kedamaian.

1982
AJAL

I

Bayang-bayang
mengendap lalu menyelinap dalam gelisah
nafas gemetar dalam ruh
Aku memberontak
        pada Sang Nasib mempertanyakan usia
        pada Sang Maut yang menyambut pesta
        pada penderitaan Sang Kelahiran
        Sang Kematian.
Ingin kusempurnakan jalan yang pernah
tercatat dan terlewat
Ingin kuhapuskan perjanjian lalu mengumandangkan
pembebasan dalam
Ruh.
      : Bayang-bayang gemetar dalam doa
        penghabisan.

II
Jerit panjang
nelontarkanku ke awang-awang ke tanah sebrang
jalan panjang tanpa siang tangpa malam, waktu
kehilangan pedoman
sosok diam sosok menggelepar wajahku
penuh warna.

langit-langit tempat berteduh lantai-lantai
alas berpijak, dinding batas usia
ingin ku tinggalkan dengan penuh
kesadaran
wajah-wajah luka ingin ku hapuskan dengan
penuh kesabaran.

Bayang-bayang mengendap
Bayang-bayang menyelinap Sang Aku
menghadap.


1982
PENYALIBAN

I


Ternyata aku selama ini keliru menatapMU
sesosok senyum di kayu penyaliban dengan darah
mengalirkan ketulusan
                          cinta kasih
                                    sampai kemana ?
ada rasa nyeri tersimpan luka, di lambung
penderitaan
         tombak dendam
        duri mahkota
( Engkau tak juga rela melepas kepergian )

Ada sedikit rasa sesal meluncur dari sudut
bibirmu yang penuh oleh senyum
kerna usia terlampau cepat terenggutkan
sementara tanaman belum selesai tumbuh, dan akar
belum kuat mencengkeram tanah.

Engkau keburu pergi, dan
Aku harus mencari.


II
Pintu-pintu kotamu tlah sepi dari pesta hari
ketiga kepergianMU menyempurnakan cinta
benih-benih tlah tumbuh dan mata
tlah terbuka menyambut derita.

Jalanan yang pernah kau lewati, orang-orang
berbaris sambil mengumandangkan lagu
Damai di Bumi
         Damai di Hati
                  Kasih meliput sanubari
berkumandang ke seluruh pelosok negeri.

Mereka berarak berkeliling mewartakan
pekabaran tanah terjanji
Kristus meminum darah
                      kesucian
                              memakan tubuh
                                        kedamaian
                                                meniti jalan
                                                         keselamatan
                               : Tombak darah mahkota duri
                                      kuda duniawi dihapusnya
                                                di kayu penyaliban
                                                                         .

Orang-orang mulai ramai menyalibkan cinta
di pintu-pintu mereka.

1982
PERJAMUAN

I

Anyir tubuh kita, bau luka
mulut-mulut penuh bisa mendendangkan
ringkik kuda.

Marilah
kita berbasuh anggur sejenak
mencucikan luka lama sebelum kita
berangkat ke pesta.

II
Inilah darahku, darah cinta kasih
                            sesama
                      dunia
yang mengguyurkan ketulusan
yang mencucikan dendam.

Minumlah,
sebelum usai pesta seteguk luka akan
segera musna.


1982

PENGEMBARAAN

I

Seperti selalu bergetar
seperti pernah terdengar
gumeter sworo tembang
tengah wengi
kawulo manembah, kawulo ngabekti
kawulo manunggal
Ing Gusti
.

II

Kerna aku hamba aku meminta
kerna tak pasti aku mencari
nglemboro golek margo
margo kang bener lan pinercoyo
pinercoyo dening kawulo
kawulo kang gumeter salebeting suksmo
sejati
.

III

Mantera-mantera
nglangut terdengar di kejauhan
menggemakan kepurbaan hidup
dan kasih yang jauh
Negeri Gaib
senyap kata
lengang suara
(heneng-hening tanpo suoro)

Ruh-ruh gemetar melihat
bayang-bayang terbaring menghadap
keheningan
.

IV

Pernah,
aku berdogma
       aku berdusta
              aku berdalil
                     aku berdalih
                            aku bertaubat
                                   aku berbuat
                                          aku bersetia
                                    mengkhianatinya
                                   aku mencuci
                            terkotori

seperti yang pernah terucap adalah
                 kegelisahan
           kecemasan
    ketakutan
              diri
          dalam
saputan warna
kusam dunia.

Ingin dalam pasrahku                                         Ingin dalam salahku
        Sumarah                                                               Seleh
                                      Ingin dalam diamku
                                            Manembah
                                                         .


V

Hening
         heneng
                  tanpo suoro
                           heneng
                                    hening
                                             tanpo rupo
                                    heneng
                           hening
                  tanpo roso
         heneng
hening
.

                                                 tan keno
                                         kinoyo ngopo
                                                            .


1982
PENGAKUAN

Atas nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus
Atas nama Sang Aku


Langit dan bumi adalah Aku
surga dan neraka adalah Aku
kehidupan dan kematian adalah Aku
kesementaraan dan kelanggengan adalah Aku
segala sumber segala muara, segala cipta
segala musna, segala kebenaran segala
kesadaran segala tanya segala jawab segala
ada dan tiada
( segala jarak tak terpisahkan )
sejuta wajah sejuta maaf sejuta kasih
sejuta warna sejuta nikmat sejuta makna
kebijaksanaan
( karma dan pahala sama saja )
: kesemestaan yang kuasa

Tuhan dalam sosok : Aku.


1982

JEJAK



I
Terkadang, persimpangan jalan membuat kita
asyik
menekuni jejak.

II

Kelegaanpun menyelimuti jalan
jalan yang kita lewati adalah kata
kata sakti
tak pernah terucapkan.

III
Kata sakti tak terdengar bila di ucap
ia gemetar tersentuh tindak
bijaksana.


1982
TEMBANG SAWIJI

Sukmanen sadinten-dinten
jatining pandulu kanti sayekti
ayuning kayun handarbeki
lamun lugu ngangkah bekti
datan sumelang, ingsun
bakal panduk ing Ndon.

Liyap liyep lumiyeb
kambah saniskareng laku
lumuyut manganyut-anyut
praptaning uwis
sepi sepa samun sinawung
ilapating wahyu
tumekeng kabukaning kijab
'Ullah Agaib.

1982
DENPASAR, SEBUAH UPACARA

I
Ini cuma persinggahan sesaat
akan kita catat lalu lewatkan
dalam gumam.

II
Kita bernafas lega sejenak, setelah
setapak kita melangkah, mencatat waktu
menghabiskan usia yang makin susut
dari keyakinan.

III

Kita bukannya semakin dekat pada tujuan
setelah melewati usia renta, kita
semakin tak tahu arah
kaki menapak.


1982
MEDITASI

I

Ada kurasa getar, seakan
membebaskanku dari beban, jarak
membuka jagad alit menelanjangi
kehidupan.

II
Ingin ku rengkuh jarak, setelah pendakian
pada pendakian yang kesekian aku tak mampu
menyibak pintu
jarak.

III
Ada batas tak tertangkap yang kuasa
menyimpan beribu tanya beribu jawab
lalu membebaskannya ke batas
tak tertangkap.


1982
SIAPA BERDIRI DI BALIK GEMA
SIAPA MENYEBAR JEJAK
SIAPA MEMBAGI ROTI


Bening suara tanpa rupa, selalu bertanya
                            dinding bertanya
                                 gunung
                             laut
dan langit bertanya
                   Siapa berdiri di balik gema
                          Siapa menyebar jejak
Siapa membagi roti di balik panji ?
Merpatikah Engkau kan ku cium
                                 tapak
                kan ku jilat
                darah
agar terbuka
resia
Mu
.


1981
PRELUDA

Tatkala sebuah kumpulan sajak telah dinyatakan "rampung" maka preluda terhadapnya menjadi lebih layak dianggap sebagai "angin lalu" ketimbang sebagai "penunjuk jalan"
Sebuah kumpulan sajak paling tidak akan berbicara tentang penyairnya, lengkap dengan latar belakang kehidupan dan eksistensi kepenyairannya, dan tentunya juga akan mencuatkan sekian macam problema kehidupan kepada pembacanya.
Atau paling tidak , sebagai pembaca sajak yang baik kita mengharapkan dapat memperoleh semacam "wisdom" seusai menikmatinya. Itu wajar dan "sah" sekali.
Demikianlah, PENGEMBARAAN Cho Chro Tri Laksono tentunya telah "rampung", sebab telah hadir di tengah-tengah kita.
Darimula, tentunya ia berusaha mengibarkan bendera-bendera problema hidup dan kehidupan, tentang ia dan dirinya, tentang ia dan alamnya, tentang ia dan sesamanya, dan tentang ia dan Ianya.
Tapi dapatkah ia membukakan daun pintu sebuah kamar yang penuh rahasia, menuntun kita masuk dalam situasi yang meditatif, samadi, dst. dst. dalam dunia yang kita kenal sebagai dunia kata ? Marilah kita nikmati bersama, kita kunyah bersama PENGEMBARAAN ini.
Kalaulah kita akhirnya mengatakan ia belum berhasil membangun Dunia itu, barangkali itulah sukses yang tertunda. Akan tetapi jika kita bilang ia telah berhasil, ia barulah masuk dalam terminal pertama. Dan kita layak pula beresan jangan keburu bangga. Sekian ratus terminal masih menunggu dilampaui. Dan Sang Waktu yang akan senantiasa menguntit dan mengujinya, dan mungkin atau bahkan menjegalnya.
Begitu ?

Yogyakarta, Awal September 1982
Salam

Suminto. A Sayuti
SONET
(Gadis berambut panjang)

Beri aku sedikit nyanyi pertempuran
kerna aku angkuh ku guncang bebintang
(sementara beberapa jatuh di pangkuan)
Gelisah, gelisah, gemuruh dalam debar
Malam turun menyambut pekabaran; katakanlah !
Wahai: "Gembala kehilangan dombanya"

Rambut panjang menyapu kerinduan
malam-malam anak gembala terjaga
lupa meniup sulingnya
(sementara bibirmu melepas senyuman)
Datanglah Wahai: " Siapa ?"
Bayang-bayang mengetuk keheningan

Malam makin memberat di pintu
renda putih tergetar dibelai angin
seperti ku kenal wajah di luar (?)
Wahai, gaun pengantin menyapu tanah: masuklah
tlah kusediakan roti sakramen suci anggur ekaristi
(bayang-bayang tertegun-tegun menyeret langkah)

Ach ! jangan pergi
rambut hitam menggerai
sepi.

1982

PRINT AD

Add caption ...